Opini
Opini: TPPO dan Luka Sosial Kita
Persoalan kemiskinan struktural ini yang memaksa sebagian masyarakat NTT memilih jalan pintas menjadi Pekerja Migran.
Selain keluarga, membangun kesadaran bersama juga perlu melibatkan lingkungan tempat tinggal, sekolah, lembaga keagamaan, komunitas-komunitas juga Lembaga pemerintahan terutama ASN.
Kelompok-kelompok ini harus hadir secara nyata, bukan hanya sekadar retorika untuk bersama-sama menempatkan kasus TPPO ini sebagai persoalan serius yang membutuhkan jiwa ksatria dan pengorbanan setinggi-tingginya dalam proses penanganan.
Kita patut mengapresiasi dan mendukung langkah yang dilakukan oleh Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena yang sudah menandatangani MoU Bersama Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) tentang Sinergi Perlindungan Pekerj Migran asal NTT.
Dukungan ini bukan semata-mata apresiasi kita secara lisan, tetapi
ikut terlibat langsung dan berpartisipasi aktif terutama dalam mengedukasi tentang dampak buruk dari persoalan TPPO ini.
Selain menguraikan tentang dampak buruk, hal yang jauh lebih penting adalah memberi stimulus sekaligus meyakinkan masyarakat kita tentang berbagai program-program merakyat yang tengah dihadirkan oleh pemerintah saat ini.
Sehingga surga kehidupan dan kedamaian itu tidak lagi jauh dari hadapan kita. Ia nyata ada di hadapan dan di tengah kehidupan.
Jadi pilihan untuk menjadi Pekerja Migran dengan segala “iming-imingnya” bukan lagi opsi yang menjadi kewajiban dan pilihan paling tepat bagi kita.
Selain langkah-langkah yang cenderung dikategorikan dalam pendekatan preventif (pencegahan), kasus TPPO ini juga harus disertai dengan penguatan kelembagaan hukum.
Aparat Penegak Hukum diberikan ruang yang lebih luas terutama dalam menjatuhkan hukuman dan sanksi baik bagi korban TPPO maupun para sindikatnya.
Memutus mata rantai kejahatan seperti ini tentu bukan hal yang sangat mudah.
Kerja-kerja penanganannya cenderung mengarah kepada hal-hal yang sifatnya teknis dan strategis.
Bagaimana peraturan-peraturan dan larangan-larangan yang sudah dibuat diterjemahkan dalam tindakan nyata.
Sehingga modus operandi kejahatan TPPO menjadi sesuatu yang sangat ditakuti baik bagi korban maupun pelaku.
Akhirnya, penulis meyakini dan sangat optimis, hanya dalam genggaman kebersamaan serta jiwa ksatria, beban berat persoalan TPPO ini bisa kita pikul untuk selanjutnya ditenggelamkan bersama optimisme.
Sebab ini adalah luka sosial bersama, maka langkah untuk menyembuhkannya pun harus dilakukan secara bersama-sama.
Kita dengan berbagai profesi yang melekat pada diri harus hadir dan memberikan kontribusi nyata untuk mengakhiri kasus ini.
Sebab di atas segalanya, kemanusiaan dan keberadaban adalah nilai paling luhur dalam kehidupan sosial kita. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.