Opini
Opini: TPPO dan Luka Sosial Kita
Persoalan kemiskinan struktural ini yang memaksa sebagian masyarakat NTT memilih jalan pintas menjadi Pekerja Migran.
Oleh: Epin Solanta
Aparatur Sipil Negara di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Rubrik Salam pada Pos Kupang (11/08/2025) menampilkan topik lama yang merupakan cerita kelam dalam tubuh masyarakat Nusa Tenggara Timur ( NTT).
Tindak Pidana Perdagangan Orang, selanjutnya ditulis TPPO menjadi topik memiluhkan yang dibalut dengan judul Jangan Hanya MoU.
Fakta empiris perihal TPPO di Provinsi NTT kembali dihadirkan melalui data yang dirilis oleh Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT per tanggal 2 Agustus 2025.
Baca juga: Polda NTT Copot Kanit TPPO Terkait Dugaan Pelecehan Seksual
Total Pekerja Migran asal NTT yang telah meninggal dunia sebanyak 87 orang. Dari jumlah tersebut, hanya 5 orang yang berangkat secara legal (sesuai prosedural). Sedangkan 52 orang lainnya berangkat secara ilegal (non prosedural).
Kondisi di atas tentu saja sangat memprihatinkan sehingga membutuhkan pola pencegahan dan penanganan yang serius dan maksimal.
Untuk sampai ke sana, kita perlu melakukan kajian secara mendalam tentang faktor penyebab atau yang melatarbelakangi tingginya Pekerja Migran dari wilayah NTT.
Dalam banyak kajian yang dilakukan baik oleh para aktivis kemanusiaan yang menaruh perhatian penuh terhadap persoalan TPPO, maupun oleh para akademisi, ditemukan beberapa faktor penyebab.
Pertama, masalah TPPO selalu beririsan dengan persoalan kemiskinan struktural yang teradi di Provinsi NTT.
Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2025, Provinsi NTT masuk dalam kategori 10 provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak (baca: 1.088.780 orang).
Persoalan kemiskinan struktural ini yang memaksa sebagian masyarakat NTT memilih jalan pintas menjadi Pekerja Migran.
Kedua, rendahnya akses pendidikan dan minimnya lapangan kerja. Data Per Juli 2025, tercatat 145.268 anak tidak bersekolah di NTT, yang tersebar di 22 kabupaten/ kota.
Rendahnya akses pendidikan ini secara langsung akan berdampak pada pengetahuan dan pemahaman yang minim terhadap berbagai informasi atau pun hal lain yang berkenan dengan pengembangan akademik dan non akademik.
Tak sedikit masyarakat kita akan kalah bersaing dalam mencari pekerjaan.
Hal ini yang kemudian membuat Sebagian besar masyarakat kita memilih jalan pintas untuk menjadi Pekerja Migran. Hal ini juga diperkuat oleh tesis tentang minimnya lapangan pekerjaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.