Opini

Opini: Ketika Anak Prajurit Gugur di Tangan Sesama

Kekerasan, meski dibungkus dengan dalih pembinaan karakter, tetap meninggalkan jejak traumatis yang panjang. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-PATRICK
USUNG JENAZAH - Jenazah Prada Lucky Namo (23), anggota Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan 834/Wakanga Mere (Yonif TP 834/WM), saat tiba di Bandara El Tari Kupang, Kamis (7/8/2025) yang diusung beberapa anggota TNI AD. 

Jika kekerasan adalah warisan, maka militer sedang mewariskan luka yang akan membusuk hingga generasi mendatang.

Dalam analisis psikologis, kekerasan tidak menciptakan ketangguhan, tetapi memperpanjang siklus dendam dan trauma. 

Individu yang pernah disakiti sering kali menjadi pelaku di kemudian hari, meneruskan pola beracun itu pada juniornya. Maka, jika hari ini satu nyawa melayang, kita tidak bisa hanya menghukum individu. Sistem pun harus diadili.

Institusi yang bangga dengan kedisiplinan dan kehormatannya seharusnya menjadi garda depan melawan kekerasan. 

Tapi bila kekerasan justru dianggap "bagian dari proses", maka institusi itu telah mengkhianati misinya. 

Barak bukan tempat penebusan dendam, tetapi rumah lahirnya para penjaga bangsa. Jika rumah itu dipenuhi kekerasan, maka bangsa ini sedang membiarkan luka menjadi warisan.

Mentalitas Kekuasaan di Balik Seragam

Seragam sering kali memberi ilusi kekuasaan. Dalam lingkungan militer, mereka yang lebih senior kerap merasa memiliki hak untuk 
"mendidik" dengan cara yang keras. 

Tapi kekuasaan tanpa kontrol akan berubah menjadi kezaliman. Ketika rasa berkuasa tak dibarengi empati, maka lahirlah para penindas berbaju kehormatan.

Kematian seorang anak tentara di tangan seniornya menunjukkan bahwa ada yang salah dengan struktur kekuasaan dalam pendidikan militer. Para senior bukan lagi pembimbing,tapi menjadi predator. 

Mereka menikmati kekuasaan sesaat, tanpa peduli dampak jangka panjang dari setiap tamparan, tendangan, atau cacian yang mereka lemparkan.

Psikologi kekuasaan menjelaskan bagaimana manusia cenderung menyalahgunakan wewenang saat tak ada kontrol atau konsekuensi. 

Ketika sistem tidak memberi sanksi tegas atas kekerasan, maka perilaku itu akan dianggap wajar. Para pelaku pun merasa aman, bahkan bangga, karena merasa menjalankan "tugas".

Yang dibutuhkan bukan hanya pelatihan fisik, tapi pelatihan karakter yang menekankan empati, tanggung jawab, dan kepemimpinan sejati. Militer harus mencetak pemimpin, bukan algojo. 

Jika hari ini satu anak gugur karena arogansi seragam, maka sudah saatnya kita mengevaluasi kembali: apakah seragam masih pantas disebut kehormatan?

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved