Opini
Opini: Ketika Anak Prajurit Gugur di Tangan Sesama
Kekerasan, meski dibungkus dengan dalih pembinaan karakter, tetap meninggalkan jejak traumatis yang panjang.
Saatnya Militer Berubah
Duka memang dalam, tapi dari luka selalu ada peluang untuk pembenahan. Tragedi ini, meski menyakitkan, harus menjadi titik balik.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu belajar dari kehilangan. Dan militer yang kuat bukan yang menutupi boroknya, melainkan yang berani menyembuhkannya dengan reformasi sejati.
Sudah saatnya militer Indonesia membuka lembaran baru—sebuah paradigma pembinaan yang mengedepankan martabat manusia. Kekuatan sejati bukan lahir dari ketakutan, tapi dari kepemimpinan yang menginspirasi.
Keteladanan yang lahir dari empati dan profesionalisme akan jauh lebih kuat daripada kepatuhan karena intimidasi.
Bila kita ingin mencetak generasi prajurit yang tangguh dan berintegritas, maka metode pembinaan harus ditata ulang.
Bangunlah sistem yang menjunjung nilai kemanusiaan, yang tidak hanya mencetak fisik yang kuat, tapi juga hati yang bijak.
Karena musuh terbesar prajurit bukan hanya di medan perang, tapi juga dalam dirinya sendiri: rasa superior palsu yang mematikan.
Mari jadikan tragedi ini bukan sekadar berita duka, tapi cambuk untuk bangkit.
Sebab setiap perubahan besar dalam sejarah selalu dimulai dari luka yang tak tertahankan. Jangan biarkan anak-anak bangsa gugur di tangan sesama.
Sudah cukup darah yang tumpah bukan di medan perang, melainkan di ruang didik yang seharusnya suci. Saatnya militer berubah—demi kehormatan sejati. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.