Opini

Opini: DPRD Dalam Cengkraman Oligarki 

Dominasi oligarki terus memengaruhi pelbagai kebijakan institusi publik seperti eksekutif dan legislatif. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
Yoseph P. Seran 

Oleh: Yoseph P. Seran 
Pemerhati Isu-Isu Daerah Perbatasan, Alumnus STFK Ledalero Maumere

POS-KUPANG.COM - Pascatumbangnya Orde Baru (1998), demokrasi di Indonesia masih bertumbuh kabur: mengalami disorientasi dan degradasi keadilan. 

Hal itu ditandai dengan menjamurnya oligark (subjek) di sendi-sendi partai politik (parpol) dan ruang-ruang publik lainnya. 

Virus oligarki ini terus menyebar luas, merangsek masuk dalam lingkaran pemerintah pusat, menembus hingga sekat-sekat pemerintah daerah. Begitu kuat dan masif. Sulit dibendung dan terus menjalar.  

Istilah oligarki awalnya dijelaskan Aristoteles, Filsuf Yunani. Ia memaknai oligarki sebagai kelompok elit berduit - yang berkuasa, dan mampu memengaruhi, mengendalikan atau mendoktrin masyarakat sosial (civil society) untuk mendukung kepentingan kelompoknya dan/atau segelintir orang demi mencapai tujuan dan cita-cita yang diinginkan.  

Bahaya Oligarki

Belakangan ini, ruang-ruang publik negara semakin menganga lebar dan memudahkan sistem oligarki tumbuh subur. 

Dominasi oligarki terus memengaruhi pelbagai kebijakan institusi publik seperti eksekutif dan legislatif. 

Ada balas jasa politik. Transaksionalitas kepentingan semakin terbuka. Tingginya kongkalikong antar-elit politik, menguatnya koncoisme antar-penguasa, dan saling  ‘manja’ antara eksekutif dan legislatif. 

Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa dan demokrasi di Indonesia.

Seperti pemilihan Presiden di Amerika Serikat (AS), sejumlah orang (warga) pesimistis terhadap kemenangan Trump. 

Mereka menganggap kemenangan Trump menjadi ancaman serius atau malapetaka terhadap demokrasi di AS. Semua sektor ekonomi, politik, bernuansa oligarki (kompas, 2024). 

Pengaruh oligarki yang terjadi di negara AS, dan beberapa negara di belahan dunia, telah merangsek masuk hingga ke Indonesia sejak masa Orde Baru, dan semakin menguat pada rezim Jokowi. 

Daya kuat oligarki berimbas pada inkonsistensi negara dalam mensejahterakan masyarakat. 

Menurut Pakar politik dari Northwestern Universty, Jeffrey A. Winters, demokrasi justru berwujud criminal democracy (kriminal demokrasi). 

Hal itu ditandai dengan oligarki bergerilya di dalam sistem politik, membeli pengaruh di dalam partai-partai politik, bahkan terlibat langsung di dalam pembentukan dan operasonalisasi partai-partai. (Bdk, Tempo, Maret 2025).

Oligarki juga membuka pasar politik; jual beli jabatan, beli suara pada pesta demokrasi lima tahunan (Pemilu dan Pilkada), mengambil alih mega-proyek, bahkan turut mengintervensi kebijakan publik. 

Eksistensi negara hanyalah instrumen yang dipakai untuk kepentingan elit berduit. Hak-hak masyarakat sebagai warga negara diabaikan.

Maraknya oligarki di Indonesia mempertajam lapangan kejahatan bagi penguasa. 

Korupsi, Kolusi, Koncoisme dan Nepotisme (K3N) semakin menguat dan menjadi seperangkat alat untuk mempertahankan kekayaan, kekuasaan dan prestise. 

Realitas tersebut sangat mengganggu kebijakan pro-rakyat dan menghambat cita-cita bersama/tujuan negara.

Dominasi oligarki dalam ruang-ruang publik (eksekutif dan legislatif) tidak hanya mengeruk hak-hak rakyat, tetapi diam-diam mengebiri masa depan bangsa secara komprehensif, dan mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri. Kedaulatan rakyat hanyalah slogan tanpa jiwa. 

Pertanyaannya, apakah oligarki masih terus memergoki politik nasional? Apakah elit partai kembali membangun kemesraan politik pasca terpilihnya Prabowo-Gibran? 

Jelang beberapa bulan pasca dilantiknya Prabowo-Gibran, Presiden Prabowo bertemu intern dengan sejumlah pengusaha konglomerat di Istana negara. 

Pertemuan tersebut membahas sejumlah program prioritas Prabowo-Gibran (Tempo, Maret 2025). 

Sementara itu, isu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mulai merapat dalam kabinet Merah Putih semakin mencuat dan menguat. 

Partai pemenang legislatif (oposisi) itu menjadi satu-satunya harapan masyarakat Indonesia pascapemilu dalam mempertahankan demokrasi Indonesia. Namun apa daya kalau sudah bergabung dengan Prabowo-Gibran. 

Situasi politik nasional pada awal masa kepemimpinan Prabowo-Gibran merupakan tamparan serius terhadap demokrasi Indonesia. 

Bahwa oligarki masih terus menguat dan mengakar dari masa ke masa, dari kepemimpanan sebelumnya hingga kepemimpinan bangsa Indonesia saat ini. 

Dililit Oligarki, Wakil Rakyat 'Omon-omon'

Dalam konteks Kabupaten Malaka, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Malaka, hari-hari ini bukan menjadi cerminan masyarakat. Tidak berkutik. Dicekik oligarki

Mereka berubah rupa menjadi topeng: alat penguasa yang membungkam hak-hak rakyat. 

Kasus seroja, tingginya angka human trafficking, anak putus sekolah (ATS), pengangguran, pembangunan infrastruktur yang tidak memadai, dan beragam persoalan lainnya menjadi dingin dalam gedung rakyat. 

Wakil rakyat yang seharusnya 'mewah' di bibir rakyat, menjadi tidak bernilai (tak berharga).  

Leher mereka diikat dengan rantai besar, ditarik ke sana ke mari. Seolah mereka tak berdaya di hadapan elit berduit (kapitalis). Miris memang. 

Masyarakat yang (terlanjur) memberi suara pada saat pemilihan legislatif (pileg) seperti berdiri di persimpangan jalan. 

Konsensus atas kepentingan bukan berbasis urgensitas rakyat, tetapi dalam bayang-bayang oligarkis. 

Kapasitas (mutu) dan integritas sebagai wakil rakyat hanyalah pernak-pernik yang menghiasi bangunan megah dari hasil pajak rakyat. 

Dalam bahasa Boni Hargens (Analis Politik), politikus zaman sekarang tak perlu sok imut di depan rakyat. Tunjukkan mutu dan integritas sebagai wakil rakyat. 

Jangan seperti koruptor yang melambaikan tangan saat diperiksa. Padahal, perut mereka kenyang mengidap darah rakyat. 

Wakil rakyat menjadi fasilitas empuk oligarki dalam memuluskan kepentingan mereka. 

Konsensus dalam ruang paripurna berbasis pada kepentingan segelintir orang atau tunduk pada kekuasaan (rezim), dan menyerahkan idealisme pada oligarki

Suara mereka ikut tenggelam dalam perut yang diisi duit rakyat. Keberpihakan pada kepentingan masyarakat hanyalah kuah kosong. 

Tak ada manfaat bagi banyak orang. Mereka hanya 'omon-omon'.  Fenomena yang terjadi di DPRD terjerumus dalam budaya permisif - yang akan mengekalkan apatis para pemilih (warga) pada pemilihan legislatif di masa mendatang. 

Bahayanya, partisipasi pemilih golongan putih (golput) akan meningkat tajam. Demokrasi yang diagung-agungkan terpenjara dalam trali besi.   

Mereka (wakil rakyat) akan terlibat aktif mengeruk keuntungan dari kebijakan eksekutif, dan terlena dengan jurang para oligark. 

Dampaknya, program prioritas demi kesejahteraan bersama (bonum commune) menjadi tidak proporsional. Hambar. Bahkan nihil. 

Kehadiran 25 orang DPRD Malaka bukan sekedar dilihat sebagai representasi suara dari ratusan ribu warga Malaka, tetapi menjadi entitas yang menghidupkan, memperjuangkan, dan menyembuhkan hak-hak rakyat berbasis konstitusional – yang sejauh ini masih terpanggang lahar ketidakadilan. 

Itu artinya, masyarakat menjadi subjek pembangunan, bukan sebaliknya menjadi objek penindasan demi memuluskan tuntutan kepentingan keluarga, kelompok atau antek-antek penguasa. 

Warga akhirnya diam-diam menutup mulut dengan kedua tangan sambil tertawa kecil akibat muak melihat wajah-wajah wakil rakyat.

Dalam setiap momen, wakil rakyat membalut diri dengan jargon populis dan merakyat, tetapi di balik pintu ruang paripurna mereka patuh dan tunduk dalam lilitan oligark. 

Apakah ini hanya di Kabupaten Malaka?  Atau terjadi di semua daerah dalam wilayah negara kepulauan ini? Jika demikian, masyarakat terus diperalat dan kedaulatan rakyat hanya gaung kosong. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved