Cerpen

Cerpen: Suara dari Balik Dinding

Rumah mungil dengan jendela yang tak pernah dibuka lebar, karena aku tak ingin dunia tahu betapa pekat luka yang tinggal di dalamnya. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Oleh: Martinus Meli *

POS-KUPANG.COM - Dinding itu bisu. Tapi ia tahu segalanya. Dinding itu belum retak. 

Tapi entah kenapa, tiap kali kusentuh, terasa seperti menyentuh tulang rusukku sendiri, penuh luka, penuh bekas.

Ia menyaksikan malam-malam ketika suara pecahan piring mengalahkan nyanyian jangkrik, dan tangisan yang tercekik tertelan di sela-sela bunyi pintu dibanting. 

Dinding itu diam, tapi ia lebih jujur dari doa-doa yang terus disangkal. Namaku Nira. 

Usia tiga puluh delapan, dan aku tinggal di rumah yang sama sejak aku menikah dua belas tahun lalu. 

Rumah mungil dengan jendela yang tak pernah dibuka lebar, karena aku tak ingin dunia tahu betapa pekat luka yang tinggal di dalamnya. 

Aku tak ingin tetangga melihat lebam di bawah mata yang kusembunyikan dengan bedak murah, atau bagaimana pergelangan tanganku harus ditutupi kain panjang, padahal hari itu panas menyengat.

Aku tak ingin mereka tahu bahwa suamiku, Dewa, yang di luar tampak sopan, ramah, dan berwibawa, berubah menjadi badai begitu pintu rumah tertutup rapat.

Orang-orang bilang, rumah adalah tempat pulang. Tapi bagaimana jika rumah adalah tempat kita paling ingin lari?

Awalnya, ia pria penyayang. Di awal pernikahan, Dewa suka membuatkan aku teh hangat di pagi hari. Ia menulis puisi untukku, meski bahasanya kaku. 

Ia mencium keningku sebelum tidur, dan menatapku seakan aku dunia yang tak ingin ia akhiri. 

Tapi semua berubah setelah tahun keempat, ketika pekerjaannya di perusahaan konstruksi mulai goyah, dan ia merasa dunia tak memberinya cukup ruang untuk jadi lelaki yang diakui.

Ia mulai pulang lebih malam, dengan napas berbau alkohol. Ia mulai bicara kasar, menganggapku tak tahu apa-apa, lalu menuduhku membandingkannya dengan pria lain.

Padahal aku hanya bertanya apakah ia sudah makan malam. “Makan? Kau pikir aku ini pengangguran? Kau kira aku punya waktu bersantai seperti kau di rumah ini, duduk-duduk dan belanja online?”

Tangannya mendarat pertama kali di pipiku pada malam itu. Aku kaget, bukan karena sakitnya, tapi karena aku tak pernah membayangkan cinta bisa berubah menjadi tamparan.

Setelah itu, ia menangis. Memohon maaf. Bersumpah akan berubah. Dan seperti perempuan bodoh lainnya, aku percaya.

Anakku, Dinda, kini sudah berusia delapan tahun. Ia tumbuh dalam rumah yang sunyi, meski di dalamnya selalu ada suara bentakan, suara tubuh terhempas ke tembok, suara isak yang kupendam di bawah selimut. Dinda tak pernah bertanya banyak. 

Ia hanya menatapku dengan mata yang terlalu dewasa untuk anak seusianya.

Aku masih ingat malam-malam ketika aku hanya bisa duduk menggigil di lantai dapur, mencoba menghapus darah dari sudut bibir, agar Dinda tidak melihat saat pagi datang.

Kadang darah itu berasal dari pecahan gelas yang sengaja Dewa lemparkan ke arahku.

Kadang dari ujung meja saat kepalaku dibenturkan. Tapi yang paling sering, dari gigitan kemarahan yang tak sempat kubalas.

Dewa tak hanya menghukum dengan tangan, tapi juga dengan sunyi. Ada masa-masa ketika ia tak menyentuhku berbulan-bulan. Bukan karena marah, tapi karena ia ingin aku merasa tidak diinginkan. 

Ia tidur di sofa, menolak bicara, menolak makan jika aku yang memasak, menatap ke arah lain bila aku lewat. Sunyi itu lebih menyakitkan dari teriakan.

Lalu ada malam-malam ketika ia menuntut haknya sebagai suami. Ia datang dengan bau alkohol, membanting pintu kamar, dan merenggut tubuhku seolah aku adalah property yang harus melayani tanpa keluh. 

Aku tidak bisa bilang tidak. Karena jika kutolak, dia akan merobek bajuku dan mengancam akan melakukannya di depan Dinda.

Pada titik itu, aku bukan lagi istri. Aku hanyalah bayangan perempuan yang ditinggal jiwanya. 

Kekerasan tak berhenti pada fisik. Ia menular ke pikiran. Dewa mencabut kartu ATM-ku, melarangku bekerja, melarangku mengangkat telepon dari adikku. Ia bilang aku tak perlu uang. 

“Aku sudah cukup memberi makan kalian,” katanya. Tapi tiap minggu, ia datang padaku dan minta uang, karena uang rokoknya habis. 

Jika tak ada, ia membanting kursi atau mengancam akan membakar semua baju Dinda.

Kadang ia mengurungku di kamar mandi. Pernah satu malam, hanya karena aku menolak ikut ke pesta temannya, aku memilih menjaga Dinda yang demam, ia menyeretku dan mengunci pintu dari luar. 

Di dalam gelap, tanpa lampu, tanpa alas kaki, aku hanya bisa duduk di atas lantai yang lembab. Bau sabun, bau urin, dan bau tubuhku sendiri bercampur jadi satu dalam kehinaan. 

Aku bertahan di sana sampai pagi. Dan ketika pintu dibuka, ia hanya menatapku dengan mata hampa, seolah aku hanyalah kucing yang tertinggal dalam gudang. Ada hari ketika aku hanya ingin mati.

Aku pernah berdiri terlalu lama di dapur, memandangi pisau pemotong daging. 

Di benakku, ada bisikan yang berkata: “Kau tak akan merasa sakit. Kau akan bebas. Dan Dinda akan dibawa neneknya, ia akan selamat.”

Tapi saat kutatap mata Dinda dari jendela, ia sedang menggambar bunga dengan krayon rusak, aku tahu aku tak bisa mati. Aku harus bertahan, bukan untukku, tapi untuknya.

Suatu malam, setelah melihatku terjatuh karena didorong Dewa yang sedang marah soal tagihan listrik, Dinda memelukku diam-diam di kamar. “Mama masih sayang Papa?” tanyanya pelan.

Aku tak menjawab. Karena aku tak tahu apa jawabannya. Apakah cinta bisa bertahan di antara teriakan dan darah? Atau aku hanya takut sendirian, takut dicap sebagai perempuan gagal?

“Kalau Mama sedih, Mama bisa cerita sama Dinda,” katanya, suaranya begitu kecil.

“Tapi kalau Mama diam terus, Dinda juga jadi takut…” Saat itulah aku sadar: aku bukan satu-satunya yang terluka. Anak-anakku pun ikut berdarah, meski tanpa gores.

Waktu terus berlalu. Luka-luka itu bertumpuk seperti pakaian kotor yang tak sempat dicuci. Aku mulai kehilangan rasa. Hari-hariku diisi ketakutan, bukan cinta. 

Aku tak lagi memasak dengan sepenuh hati, tak lagi menyiram bunga, tak lagi menulis puisi seperti dulu. Hidupku hanya tentang bertahan.

Sampai suatu pagi, ketika aku sedang membereskan buku-buku Dinda, aku menemukan sebuah gambar. 

Ia menggambar sebuah rumah. Tapi anehnya, rumah itu hanya punya satu pintu dan tak ada jendela. Di dalam rumah itu, ada sosok perempuan dengan wajah sedih, dan di atasnya, ada tulisan tangan kecil: "Mama, ayo keluar."

Aku menangis. Tangisku bukan lagi diam. Gambar itu seperti suara dari Tuhan sendiri yang selama ini kupikir telah lupa padaku.

Butuh dua minggu setelah itu untuk aku berani melangkah. Aku datang ke rumah perlindungan perempuan diam-diam, mengisi formulir dengan tangan gemetar. 

Aku belajar bahwa aku tak sendiri, bahwa ada ratusan perempuan lain dengan kisah serupa. Mereka menyembunyikan luka di balik senyum, menyisir rambut sambil menutupi lebam, memasak sambil menahan nyeri.

Dan mereka semua, seperti aku, pernah merasa diam adalah satu-satunya jalan. Tapi diam tak pernah menyelamatkan.

Kini aku menulis kisahku. Bukan untuk balas dendam. Bukan untuk membuka aib. Tapi untuk menyuarakan luka yang terlalu lama dibungkam. 

Aku ingin perempuan-perempuan lain tahu bahwa mereka berhak hidup tanpa takut.

Bahwa cinta tak pernah berarti pukulan. Bahwa rumah seharusnya tak punya dinding yang menjadi saksi penderitaan.

Dan jika suatu hari anakku membaca ini, aku ingin ia tahu: mamanya pernah rapuh, tapi akhirnya memilih bangkit. Demi dia. Demi kami.

 Aku masih takut. Tapi aku tidak lagi sendiri. Dinding itu masih bisu. Tapi aku sudah tak tinggal di baliknya.

Hari-hari pertamaku di rumah perlindungan bukanlah pelarian, tapi kelahiran kedua.

Aku bangun pagi tanpa rasa cemas, tanpa suara langkah kaki yang memekakkan batin, tanpa ancaman dalam bentuk sorot mata yang tajam. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, aku tidur dengan pintu tak dikunci bukan karena berani, tapi karena akhirnya merasa aman.

Dinda mulai kembali tersenyum. Ia bermain dengan anak-anak lain di sini, membuat origami, melukis pelangi, dan sesekali menyanyikan lagu-lagu kecil yang dulu jarang kudengar dari bibirnya. 

Tak ada lagi gambar-gambar rumah tanpa jendela. Ia menggambar pohon, burung, dan langit. Aku rasa, anak-anak adalah penyair tanpa kata. Mereka menulis lewat warna, dan membaca lewat raut wajah ibunya.

Aku bertemu banyak perempuan di tempat ini. Ada Lilis, seorang guru SD yang dipukul suaminya hanya karena ia menolak menjual perhiasan warisan. 

Ada Tari, yang wajahnya penuh bekas luka bakar akibat siraman air panas dari mertua yang tak puas dengan masakannya. Dan ada Rina, perempuan muda yang baru berusia dua puluh dua, membawa bayinya yang masih merah, hasil dari pernikahan paksa.

Kami duduk melingkar setiap malam. Saling menceritakan kisah. Tak ada penghakiman. Hanya mata yang berkaca-kaca, tangan yang saling menggenggam, dan doa-doa yang ditanam diam-diam di dalam dada. 

Kami tahu, penderitaan kami berbeda, tapi suara luka kami sama: lirih, ragu, namun ingin bebas.

Di antara malam-malam itu, aku mulai menulis lagi. Bukan puisi untuk Dewa seperti dulu, tapi surat-surat untuk diriku sendiri. 

Aku menulis tentang Nira kecil yang dulu suka membaca buku di bawah pohon mangga. 

Tentang Nira remaja yang bercita-cita jadi guru, tapi menikah terlalu muda karena tekanan keluarga. Tentang Nira dewasa yang akhirnya tak
ingin mati dalam ketakutan.

Menulis adalah cara terbaikku untuk menyembuhkan. Setiap kata adalah benang, dan setiap kalimat adalah jahitan yang menutup sobekan jiwa. Dewa mencariku. Tentu saja. 

Ia mengirim pesan. Memohon maaf. Mengaku bersalah. Ia bilang, hidupnya hampa tanpa aku. Ia menangis lewat pesan suara. 

Ia kirim foto-foto lama kami saat bulan madu di Danau Toba, seolah kenangan itu cukup untuk menghapus semua malam penuh luka. 

Tapi aku tidak lagi perempuan yang sama. Aku tak benci Dewa. Tapi aku tak ingin kembali.

"Maaf, aku memilih hidup," tulisku dalam balasan yang tak pernah ia balas lagi.

Ia mungkin marah. Mungkin mengutukku. Tapi aku tak peduli. Aku sudah terlalu lama hidup untuk orang lain. Kini, saatnya hidup untuk diri dan anakku sendiri.

Aku mulai ikut pelatihan keterampilan di rumah perlindungan. Menjahit, membuat kerajinan tangan, dan menulis modul pendidikan perempuan. 

Seorang relawan dari lembaga hukum membantu kami memahami hak-hak perempuan, memberi kami kekuatan dari hukum yang sebelumnya terasa begitu jauh dari jangkauan kami.

Aku juga diberi kesempatan bercerita di sebuah acara radio lokal. Di sana, suaraku ditayangkan dengan nama samaran. 

Aku bercerita tentang bagaimana luka bisa menyuarakan kebenaran, dan bagaimana cinta tak pernah seharusnya mengandung rasa takut. (*)

*) Penulis adalah Mahasiswa IFTK Ledalero, Maumere, Flores - Nusa Tenggara Timur

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved