Catatan Hukum Untuk Masyarakat

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/Puu-Xii/2014 Penyitaan Dapat Dipraperadilankan

Tidak ada alasan bagi aparatur penegak hukum menolak Pra Peradilan yang berhubungan dengan Penggeledahan dan khususnya dalam penyitaan.

Editor: Sipri Seko
POS-KUPANG.COM/HO
Dr. Nicholay Apriĺindo, SH, MH, MM (Akademisi & Praktisi Hukum-HAM/Advokat/Alumnus PPSA XVII-2011 LEMHANNAS RI.) 

3. Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU tersebut.

4. Adapun Hierarki Peraturan Perundang-undangan berdasarkan UU No. 12/2011, yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945

2. Ketetapan MPR

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

 

Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung

- Bukan Bagian dari Hierarki : SEMA tidak termasuk dalam daftar hierarki peraturan perundang-undangan di atas.

- Tujuan SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung umumnya digunakan untuk memberikan petunjuk atau pedoman pelaksanaan bagi hakim atau internal lembaga Mahkamah Agung.

- Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang membahas tentang penyitaan adalah SEMA Nomor 7 Tahun 2012. Dalam SEMA ini, salah satu poin yang dibahas terkait penyitaan adalah mengenai putusan praperadilan tentang penyitaan. Menurut pleno dalam SEMA ini, penyitaan yang sah akan diputuskan bersamaan dengan pemeriksaan dalam pokok perkara. Selain itu, Pasal 82 KUHAP menyebutkan bahwa jika putusan menetapkan benda yang disita tidak termasuk alat pembuktian, maka benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau pihak yang benda itu disita.

Terkait Penyitaan dalam SEMA No. 7/2012

- Penyitaan dalam Praperadilan : Putusan praperadilan tentang penyitaan akan diputuskan bersamaan dengan pemeriksaan pokok perkara.

- Pengembalikan Benda Sitaan : Jika benda yang disita tidak termasuk alat bukti, maka harus dikembalikan kepada tersangka atau pihak yang benda itu disita.

- Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7 Tahun 2012, wewenang mengeluarkan izin penyitaan adalah:

- Ketua Pengadilan Negeri : Berwenang mengeluarkan izin penyitaan.

SEMA No. 7 Tahun 2012 bertujuan untuk memberikan pedoman tentang proses penyitaan dan memastikan bahwa proses tersebut dilakukan secara sah dan terkendali.

 

IV. PUTUSAN MK NOMOR 21/PUU-XII/2014 PENYITAAN DAPAT MENJADI OBJEK HUKUM PRA PERADILAN

Bahwa Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penyitaan barang bukti dalam hukum acara pidana memberikan beberapa implikasi penting. 

Putusan MK, khususnya Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, menegaskan bahwa penyitaan, termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, dapat menjadi objek praperadilan, ini berarti bahwa seseorang yang merasa dirugikan oleh tindakan penyitaan yang tidak sah dapat mengajukan praperadilan untuk menguji keabsahan tindakan tersebut. 

Hal Penting Terkait Putusan MK tentang Penyitaan Barang Bukti adalah :

1. Penyitaan Sebagai Objek Praperadilan:

Putusan MK menegaskan bahwa penyitaan, termasuk tindakan penggeledahan dan penetapan tersangka, dapat diuji melalui mekanisme praperadilan. 

2. Hak Uji Keabsahan:

Putusan ini memberikan hak kepada pihak yang merasa dirugikan untuk menguji keabsahan tindakan penyitaan oleh penyidik melalui praperadilan. 

3. Perlindungan Terhadap  Hak Asasi:

Tujuan utama dari putusan ini adalah untuk memberikan perlindungan hak asasi manusia dengan memastikan bahwa tindakan penyitaan dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. 

4. Penyitaan yang Melanggar Hukum:

Jika penyitaan dilakukan tanpa memenuhi syarat formal dan materiil yang diatur dalam KUHAP dan ditegaskan oleh putusan MK, maka penyitaan tersebut dapat dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum. 

5. Akibat Hukum Penyitaan Tidak Sah:

Jika penyitaan dinyatakan tidak sah, maka barang bukti yang disita harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan tindakan penyitaan selanjutnya yang didasarkan pada penyitaan yang tidak sah tersebut juga batal demi hukum. 

6. Implikasi Putusan MK:

- Meningkatkan Pengawasan:

Putusan MK tentang penyitaan sebagai objek praperadilan mendorong adanya pengawasan terhadap tindakan penyidik dalam proses penyitaan. 

- Mendorong Kepatuhan Hukum:

Putusan ini diharapkan dapat mendorong penyidik untuk lebih berhati-hati dan patuh terhadap prosedur hukum dalam melakukan penyitaan. 

- Memberikan Kepastian Hukum:

Putusan MK memberikan kepastian hukum bagi pihak yang merasa dirugikan akibat penyitaan yang tidak sah, sehingga mereka dapat menuntut haknya melalui mekanisme praperadilan. 

- Contoh Kasus :

- Pengadilan Negeri (PN) Tulungagung mengabulkan sebagian permohonan praperadilan dan menyatakan bahwa penyitaan yang dilakukan oleh penyidik tidak sah, serta memerintahkan pengembalian barang bukti yang disita.

- Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2020/PN Tlk. 

Dengan adanya putusan MK Nomor : 21/PUU-XII/2014, Maka mekanisme praperadilan menjadi sarana penting untuk menguji keabsahan penyitaan dan melindungi hak asasi manusia dalam proses hukum pidana. 

Bahwa didalam pustaka hukum suatu akibat hukum dikenal dengan tiga macam yaitu:

1. Akibat hukum lahir, berubah, ataupun lenyapnya sebuah keadaan hukum.

2. Akibat hukum berupa lahir, berubah dan lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau beberapa subjek hukum.

3. Akibat hukum berupa timbulnya sanksi atau hukuman. Penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir ke-16 KUHAP, yang berbunyi: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (KUHAP, Pasal 1 butir 16).

4. Dalam Pasal 39 KUHAP disebutkan bahwa :

(1) Yang dapat dikenakan penyitaan adalah: a.Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b.Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c.Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana; d.Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana; e.Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

(2) Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).

Dari ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda-benda yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya suatu tindak pidana.

Jadi, apabila ada benda yang sempat diambil oleh penyidik, namun ternyata tidak berhubungan dengan tindak pidana, maka benda tersebut harus segera dikembalikan kepada orang yang berhak.

Contoh kasus dalam Putusan Nomor 1/Pid.Pra/2020/PN Tlk tersebut, barang bukti yang disita oleh Penyidik telah diputuskan tidak sah karena tidak berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh Pemohon, maka secara legalitas, barang bukti yang disita tidak memenuhi Pasal 39 KUHAP;

Akibat hukum dari penyitaan yang tidak sah, maka pengembalian barang sitaan harus sesuai dengan peraturan prundangan seperti pada Pasal 82 ayat (3) huruf d UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dan siapa benda itu disita.

 

V. Kesimpulan 

Bahwa berdasarkan uraian diatas, maka tidak ada alasan bagi aparatur Penegak hukum Polisi, Jaksa, dan khususnya Hakim menolak Pra Peradilan yang berhubungan dengan Penggeledahan dan khususnya dalam Penyitaan.

Hakim dalam menutus suatu perkara harus menggali hukum secara filosofis dan sosiologis yang berkembang dimasyarakat, selain putusan-putusan yuridis yang menjadi yurisprudensi, yang dilandasi oleh Kebenaran dan Keadilan,  sehingga tidak menimbulkan putusan yang sesat serta merugikan pencari keadilan, karena hukum dan hak asasi manusia (HAM) Itu dinamis, tidak statis.

 

VI. REFERENSI 

- Andi Hamzah and RM Surachman, Pre-Trial Justice Dan Discretionary Justice Dalam KUHAP Berbagai Negara, Cet. I (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).

- Maskur Hidayat, ‘Pembaruan Hukum Terhadap Lembaga Praperadilan Melalui Putusan Pengadilan’, Yuridika.

- Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

- Tristam P. Moeliono, ‘Asas Legalitas Dalam Hukum Acara Pidana: Kritikan Terhadap Putusan Mk Tentang Praperadilan’, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 22.4 (2015), 594–616 .

- Yati Nurhayati, 2020, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Nusa Media.

 

 

Baca berita POS-KUPANG.COM lainnya di GOOGLE.NEWS

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved