Opini

Opini: Menulis Satu-Satunya Cara Membongkar Dusta yang Kita Rawat Sendiri

Peradaban menjadi bangunan rapuh, berdiri di atas pasir lembek rumor yang tak bisa diverifikasi. Tulisanlah yang menguatkan tiang peradaban. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru
Pendeta GMIT yang berkarya di Sabu Raijua - Nusa Tenggara Timur

POS-KUPANG.COM - Ada paradoks memikat yang terus mengintai sejarah manusia. 

Kita kerap membanggakan betapa tingginya tingkat kemanusiaan kita hari ini — dengan undang-undang yang mengikat semua warga, deklarasi hak asasi, sistem demokrasi yang (katanya) memberi ruang semua suara, hingga jaringan digital yang menghubungkan kita lintas benua dalam hitungan detik. 

Namun jarang kita sadar, semua itu bertumbuh dari sesuatu yang paling sederhana: Menulis. 

Tanpa tulisan, konstitusi hanyalah khotbah. Deklarasi hanyalah teriakan. Demokrasi hanya akan jadi pekik massa yang mudah diarahkan ke mana saja, bahkan ke jurang.

Peradaban menjadi bangunan rapuh, berdiri di atas pasir lembek rumor yang tak bisa diverifikasi. Tulisanlah yang menguatkan tiang peradaban. 

Tulisan membuat ide-ide besar bertahan melewati zaman, direvisi lintas generasi, diwariskan dengan catatan kaki, supaya anak cucu tak hanya menebak-nebak apa yang kita maksud.

Claude Lévi-Strauss, antropolog yang gemar membongkar kebanggaan semu manusia modern, dalam Tristes Tropiques pernah menyindir bagaimana kita merasa lebih maju hanya karena melek aksara. 

Namun ia pun mengakui: “Writing is a strange invention. It seems to be indispensable to the exercise of reasoned thought. It fixes knowledge, gives it continuity, and guards it against the distortions of oral transmission.” 

Dengan kata lain, tulisan memungkinkan pengetahuan ditambatkan supaya tak melompat liar, menghindari bias lidah, melawan penggiringan rasa takut atau gairah massa. 

Tanpa tulisan, kita hanya pewaris kabar burung yang turun-temurun — sulit dikonfirmasi, tak mungkin diuji.

Ironinya, di abad yang katanya melek literasi ini, kita justru melihat betapa banyak orang gemar menghakimi tulisan, tetapi malas menulis. 

Betapa mudah kita mencemooh opini orang lain, menertawakan status panjang, atau menggunjing artikel seolah kita paling paham. 

Padahal seringkali mereka yang paling fasih menertawakan tulisan, tak pernah menata pikirannya dalam kalimat yang dapat diperiksa. 

Mereka lupa, menghakimi tulisan orang lain tanpa pernah menulis sama saja dengan menyoraki petinju berdarah di atas ring, padahal kita sendiri gemetar bila disuruh naik. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved