Opini

Opini: Menulis Satu-Satunya Cara Membongkar Dusta yang Kita Rawat Sendiri

Peradaban menjadi bangunan rapuh, berdiri di atas pasir lembek rumor yang tak bisa diverifikasi. Tulisanlah yang menguatkan tiang peradaban. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Mereka bagaikan kaum bisik-bisik digital: memproduksi komentar pendek, sinis, lalu bangga karena tak pernah menanggung risiko dibantah atau disanggah. 

Padahal komentar mereka menguap dalam sekejap, sementara tulisan — meski ringkih — memberi jejak yang dapat ditelusuri, dikritisi, bahkan direvisi.

Menulis adalah laboratorium untuk menguji reaksi kimia pikiran kita. Apakah gagasankita konsisten? Apakah asumsi kita bisa dipertanggungjawabkan? 

Ataukah kita hanya menghibur diri dengan logika yang retak, menganggap prasangka sebagai hikmat, lalu menegaskan diri benar hanya karena tak ada orang yang bisa memeriksa? 

Menulis menuntut kita menelanjangi otak sendiri, menatap betapa barangkali kita tak lebih tahu apa-apa daripada mereka yang kita anggap bodoh.

Pierre Bourdieu mengingatkan lewat konsep habitus: cara berpikir kita sering kali dibentuk diam-diam oleh kebiasaan sosial, lingkungan, pola wacana yang menempel sejak kecil. 

Menulis menjadi tindakan membongkar habitus itu. Orang yang takut menulis biasanya takut bertemu dengan ketelanjangan pikirannya sendiri. Mereka lebih suka merasa waras dalam diam, daripada benar-benar memeriksa apakah mereka masih waras.

Di sinilah Bulan Pendidikan GMIT menemukan relevansinya. Setiap tahun, gereja-gereja kita menandai bulan ini dengan aneka lomba cerdas cermat Alkitab, seminar motivasi, bahkan parade testimoni iman. 

Itu semua baik, tetapi pendidikan tidak boleh berhenti pada menghafal atau mendengar ulang apa kata orang. 

Pendidikan yang beradab menuntut keberanian menata gagasan, mengolah nalar, lalu menuliskannya supaya dapat diuji. Sebab hanya lewat tulisan, kita sungguh menelusuri: benarkah kita tahu, atau kita hanya sok tahu? 

Tanpa tulisan, kita hanya kembali ke tradisi bisik ke bisik, rumor ke rumor — jalan yang tidak jujur dan tak pernah tervalidasi kebenarannya.

Betapa memprihatinkan bila gereja hanya memelihara budaya tutur tanpa budaya tulis. Sebab tutur, tanpa catatan, mudah dibelokkan emosi, gampang ditarik kepentingan, sulit dikoreksi. 

Sementara tulisan memberi kita ruang revisi, memperbaiki, memurnikan gagasan. 

Bahkan sejarah iman kita pun terjaga bukan oleh desas-desus, tetapi oleh teks: mulai dari gulungan Taurat Musa, surat-surat Paulus, hingga hasil konsili yang diwariskan lintas abad. 

Reformasi besar dalam tubuh gereja pun lahir bukan dari orasi pasar, melainkan dari tesis-tesis Martin Luther yang dipakukan di pintu gereja — supaya dibaca, diuji, bahkan dibantah.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved