Opini

Opini: Menulis Satu-Satunya Cara Membongkar Dusta yang Kita Rawat Sendiri

Peradaban menjadi bangunan rapuh, berdiri di atas pasir lembek rumor yang tak bisa diverifikasi. Tulisanlah yang menguatkan tiang peradaban. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Satirnya, kita justru hidup di zaman ketika orang bangga menjadi komentator. Mereka berkeliling ruang maya, menilai karya orang lain, seolah logika mereka sudah sempurna.

Padahal menulis bukan hanya soal menampilkan apa yang kita yakini, tapi juga tanggung jawab kita pada pikiran sendiri. 

Kita menulis supaya tidak terus tertipu otak kita sendiri, supaya tidak membanggakan prasangka sebagai hikmat atau mengira kemarahan sebagai argumentasi.

Karena itu, bulan pendidikan di GMIT ini semestinya kita maknai lebih jauh: bukan hanya untuk merayakan lembaga-lembaga pendidikan atau lomba-lomba pintar, tetapi untuk membangkitkan kembali budaya menulis — agar kita tak selamanya hidup dari bisik ke bisik yang sulit dipertanggungjawabkan. 

Tulisan, meski sederhana, memaksa kita menaruh logika, reputasi, bahkan harga diri kita di hadapan siapa saja yang mau membaca, mengkritik, lalu membantu memperbaikinya.

Dan kalau menulis terasa menakutkan karena takut salah, ingatlah satu hal: lebih baik salah yang dapat dibaca, daripada benar yang hanya klaim lisan tanpa saksi. 

Sebab pendidikan sejati tidak melahirkan orang yang selalu benar, melainkan manusia yang siap diperbaiki. 

Di sanalah letak martabat sejati — menulis agar kita tak terus memelihara dusta yang kita rawat sendiri, lalu menebus diri dari dunia rumor, menuju terang kebenaran yang dapat diuji lintas waktu dan generasi. Itulah jalan yang sungguh beradab — dan barangkali satu-satunya. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved