Opini

Opini: Menulis Satu-Satunya Cara Membongkar Dusta yang Kita Rawat Sendiri

Peradaban menjadi bangunan rapuh, berdiri di atas pasir lembek rumor yang tak bisa diverifikasi. Tulisanlah yang menguatkan tiang peradaban. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI
John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Menulis mengundang kita menanggung risiko terpukul, mempermalukan diri sendiri, bahkan jatuh telentang ditertawakan penonton.

Nietzsche, filsuf yang suka menggugat akal sehat, pernah menulis getir, “He who writes in blood and aphorisms does not want to be read but to be learned by heart.”

Menulis itu berdarah — bukan hanya ungkapan puitik. Menulis berarti menumpahkan isi dada yang mungkin busuk, menampilkan luka yang belum sembuh, lalu membiarkan orang menatapnya tanpa sensor. 

Itulah sebabnya banyak orang memilih diam, atau hanya menjadi hakim bagi tulisan orang lain, daripada menanggung rasa malu saat pikirannya terbukti cacat logika atau prasangkanya terlihat telanjang.

Padahal dunia tanpa tulisan adalah dunia dari bisik ke bisik. Dari mulut ke mulut.

Dari gosip ke gosip. Sejarah menunjukkan betapa berbahayanya itu. Fitnah menumbangkan kerajaan. 

Desas-desus menyalakan api perang. Kabar palsu membangkitkan amuk massa yang membabi buta. 

Homer, Herodotus, hingga sejarawan modern sepakat bahwa banyak tragedi lahir karena kisah-kisah besar hanya dipegang oleh lidah, bukan diikat oleh tulisan yang bisa ditelusuri, disanggah, dibenahi.

Menulis karena itu adalah tindakan paling manusiawi sekaligus paling revolusioner.

Menulis adalah keberanian merekam apa yang kita pikirkan — supaya suatu hari bisa diuji orang lain, bahkan diperiksa ulang oleh diri kita sendiri saat kepala kita sudah lebih dingin. 

Michel Foucault, dalam kegemarannya membongkar sistem pengetahuan, menulis tajam: “Writing unfolds like a game that invariably goes beyond its own rules and transgresses its limits.” 

Menulis membuka celah melampaui batas-batas nyaman, memaksa kita mengurai benang kusut di kepala, menantang kuasa-kuasa lama yang menjerat kita diam-diam, memperlihatkan betapa mungkin kita selama ini hanya hidup dalam sangkar wacana yang kita warisi begitu saja tanpa pernah menanyainya.

Ironisnya, justru di zaman ini, kita dikelilingi manusia yang lebih senang menjadi komentator. 

Mereka merasa gagah mencemooh tulisan orang, menertawakan argumen orang, seolah mereka sendiri sudah selesai dengan pikirannya. 

Padahal mereka tak pernah menata apa yang mereka yakini dalam barisan kata yang siap diperiksa. 

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved