Cerpen

Cerpen: Benang yang Tak Sampai

Mama Soini tak pernah belajar membaca. Tapi ia bisa menebak musim hanya dari retak di tanah atau arah bayangan pohon asam di halaman. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO-FOTO BUATAN AI
ILUSTRASI 

Oleh: Muhammad Aswar

POS-KUPANG.COM - Tak ada yang istimewa dari rumah Mama Soini: dindingnya separuh papan, separuh batu; atap sengnya sudah ditekan batu besar di sudut-sudutnya karena angin timur kadang dating tanpa peringatan. 

Tapi di dalam rumah itu, ada satu suara yang tak pernah benar-benar hilang: suara benang disisir di alat tenun, pelan-pelan, seperti suara orang yang sedang berpikir.

Mama Soini tak pernah belajar membaca. Tapi ia bisa menebak musim hanya dari retak di tanah atau arah bayangan pohon asam di halaman. 

Dan dari semua hal yang ia warisi dari ibunya—termasuk kebiasaan menjerang air dua kali sehari meski tak haus—menenun adalah satu-satunya yang ia jaga seperti menjaga rahasia.

Sejak pagi buta, saat suara ayam belum sempat bertengkar dengan bunyi motor tetangga yang baru dapat proyek dari kelurahan, Mama Soini sudah duduk di belakang rumah. 

Di situlah alat tenun kayunya disandarkan di tembok, dan ia mulai menarik benang demi benang.

Kadang ia tak menenun pola, hanya garis-garis samar seperti sisa mimpi yang tak jadi pagi.

Orang-orang kota yang datang membeli tenun darinya selalu memuji motifnya sebagai “eksotis.” 

Tapi bagi Mama Soini, motif-motif itu bukan untuk dipuji. Itu cerita. Cerita tentang anak lelaki yang dulu pernah berangkat ke Malaysia dan tak pernah pulang. 

Tentang suara ibu yang ia hafal waktu kecil: “Kalau benangmu kusut, tarik pelan-pelan. Jangan dipaksa.”

Tentang sumur tua yang airnya tinggal sisa dan tak cukup untuk cuci kaki.

Dulu, ia tak menenun untuk dijual. Tenun adalah pakaian pesta, bekal nikah, dan juga kafan.

Tapi sekarang, ia menenun agar dapur tak diam. Ia menenun agar ia bisa beli pulsa untuk anak perempuannya yang kerja di minimarket. 

Ia menenun agar suaminya tak perlu ke pasar hanya untuk membeli garam dengan utang.

Suatu hari, orang dari kota datang. Membawa brosur dan rencana. Mereka bilang akan membangun galeri di kota, akan ekspor tenun ke Eropa. “Identitas budaya kita harus dijaga!” kata mereka. 

Mama Soini hanya mengangguk, menatap sandal mereka yang bersih dan mobil
yang bunyinya berbeda dengan truk sayur.

Setelah mereka pergi, tak ada yang berubah. Kecuali bahwa setiap tiga bulan sekali, seseorang akan datang membawa katalog dan mengambil beberapa kain. Kadang mereka bayar tepat waktu. Kadang tidak.

Mama Soini tak banyak mengeluh. Ia hanya menambahkan simpul lebih rapat di ujung kain.

Itu saja.

“Benangmu makin halus, Ma,” kata Ina Mone, tetangganya, suatu sore.

Mama Soini tersenyum kecil. 

“Mungkin karena makin banyak yang kusimpan di dalamnya.”

Lalu mereka diam. Duduk berdampingan. Memisah biji jagung yang baru dipetik. 

Di Kupang, kadang keintiman bukan dari banyak bicara, tapi dari duduk cukup lama bersama panas.

Malam itu, saat listrik padam—seperti biasa tiap Sabtu malam—Mama Soini tetap menenun.

Dengan lampu minyak yang temaram, bayangannya jatuh ke dinding seperti bayangan orang yang masih berharap.

Di tengah-tengah helai benang, ia berhenti. Bukan karena capek, tapi karena ia teringat sesuatu: suara anak lelakinya dulu waktu masih kecil, yang berkata ia ingin naik kapal. 

“Aku mau lihat laut yang lebih besar dari laut di sini,” katanya sambil menunjuk ke arah utara.

Sejak itu, Mama Soini tak lagi suka mendengar ombak. Ia lebih memilih bunyi hujan. Tapi hujan sudah jarang datang.

***

Di pasar, orang-orang mulai menjual kain dari pabrik. Murah dan seragam. Tak perlu waktu dua minggu untuk membuatnya. Tidak perlu mata yang sabar.

Kain Mama Soini tergantung saja, menunggu dibeli oleh orang yang belum tentu datang.

Kadang, saat ada anak sekolah datang untuk wawancara tugas, mereka bertanya, “Mengapa Mama masih menenun? Bukankah ini berat?”

Ia hanya tertawa, bukan karena pertanyaan itu lucu, tapi karena ia tak tahu harus jawab apa.

Kadang pekerjaan bukan soal pilihan. Kadang menenun bukan pekerjaan, tapi satu-satunya cara mengingat bahwa ia masih ada.

“Kalau saya berhenti menenun,” katanya suatu kali, “mungkin tak ada lagi yang tahu seperti apa bentuk tangan saya.”

Anak-anak sekolah itu menulis cepat di buku mereka. Tapi tak ada yang menuliskan bahwa ketika mereka pergi, Mama Soini menatap langit lama sekali, seolah menunggu sesuatu yang tak punya bentuk.

Suatu malam, angin kencang datang dari selatan. Sebatang pohon jambu jatuh menimpa dapur tetangga. 

Atap rumah Mama Soini terangkat di sudutnya, tapi tidak jatuh. Ia tetap tidur di ruang tengah, dekat alat tenunnya.

Paginya, ia menjemur kain-kain yang belum selesai. Tiga lembar, semua dengan warna tanah, merah bata, dan garis hitam seperti jalan yang belum selesai dibangun. 

Di sudut salah satu kain, ada bekas tetesan air hujan yang tidak bisa dihilangkan. Tapi Mama Soini membiarkannya. Katanya, itu “tanda waktu.”

Ina Mone melihat dan bertanya, “Mama mau kasih jual juga yang itu?”
Mama Soini menggeleng. 

“Yang ini untuk aku. Untuk nanti.”

Tak ada yang bertanya “nanti” itu apa.

Karena di desa, waktu bukan soal jam. Tapi soal musim. Dan soal apakah seseorang akan kembali atau tidak.

***

Suatu pagi, di bulan Juni yang terlalu terang, Mama Soini menyelesaikan satu tenun terakhir.

Ia tak banyak bicara hari itu. Hanya duduk lebih lama dari biasanya.
Ketika sore datang, dan suara anak-anak sudah tak terdengar di jalan, ia mengunci pintu. 

Lalu duduk menghadap kain-kainnya yang tergantung. Matanya lama terdiam pada satu tenun yang paling tua, yang dibuat ibunya dulu, saat ia belum mengerti apa itu motif.

Lalu ia berkata pelan, entah pada siapa: “Kalau benangnya terlalu panjang, kadang harus disimpul agar tak hilang arah.”

Lalu ia diam. Dan malam turun.

Begitu saja.

Seperti benang yang tak sampai. (*)

Muhammad Aswar
Muhammad Aswar (POS-KUPANG.COM/HO-DOK PRIBADI)

*) Muhammad Aswar adalah penikmat Sastra Arab dan pemerhati kajian Timur Tengah, tinggal di Enrekang, Sulawesi Selatan. Dia menjadi pembicara di LIFEs Salihara 2021. Menerjemahkan puisi Nizar Qabbani, Cinta Tak Berhenti di Lampu Merah (Circa, 2021); Surat Tuhan karya Albert Einstein (Circa, 2023); Pembangkangan Sipil karya Henry David Thoreau (Basabasi, 2024); Max Havelaar karya Multatuli (Basabasi, 2025). 

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved