Opini
Opini: Critical Thinking Terkurung di Kotak AI
Ada begitu banyak produk/tipe AI yang ditawarkan untuk membantu pekerjaan manusia, baik AI gratis maupun berbayar.
AI tak boleh dikultuskan sebagai semacam “dewa menulis” karena akan berdampak pada perhalaan akademik. Dan, saya kira, manusia dewasa ini telah menjadi penyembah setia AI. AI dipuji dan dipuja sebagai penyedia menu berpikir kritis nan cepat.
Semacam proses berpikir kritis manusia telah kalah cepat dari AI. Padahal, berpikir kritis bukan soal kecepatan.
Ia butuh waktu, kesabaran, bahkan kebingungan. Ia tidak bisa dipercepat seperti proses komputasi.
Menerima jawaban instan dari AI tanpa telaah adalah bentuk kemunduran intelektual yang dikemas dalam teknologi canggih. Nilai-nilai, emosi, dilema moral, semuanya tak bisa dirumuskan oleh logika biner.
Jika kita biarkan nalar kita tertidur karena dimanjakan oleh AI, kita akan bangun di dunia di mana manusia cerdas, tapi tidak bijak; penuh informasi, tapi miskin pemahaman; mampu berpikir, tapi memilih tidak berpikir.
Kita lebih cepat percaya pada jawaban yang terlihat rapi ketimbang menggali sendiri kebenarannya. Padahal, yang rapi belum tentu tepat, dan yang cepat belum tentu sahih.
Berpikir kritis bukan tentang hasil, melainkan proses. Ia tumbuh dari kegelisahan, dari dorongan untuk memahami lebih dalam. AI, betapapun canggihnya, tidak memiliki kegelisahan semacam itu.
Ia tidak bertanya karena ingin tahu, ia hanya menjawab karena diminta.
AI bukanlah entitas yang berpikir. Ia adalah sistem statistik yang bekerja berdasarkan data yang telah tersedia. Ia mengenali pola, bukan makna. Ia merekonstruksi, bukan merenungkan.
Maka, ketika kita terlalu bersandar padanya, kita tidak hanya meminjam bantuan teknis, tetapi juga menyerahkan proses intelektual kita sendiri.
Lambat laun, kita menjadi pasif secara kognitif. Lebih jauh, berpikir kritis bukan sekadar mencari jawaban, melainkan kemampuan untuk mempertanyakan. Ia tumbuh dari keraguan, bukan kepastian.
Sayangnya, AI dengan desain yang cenderung memberikan jawaban cepat dan final tidak mendorong kebiasaan bertanya yang sehat.
Alih-alih merangsang diskusi, ia kerap menjadi penutup diskursus. Inilah awal kebangkrutan kemanusiaan kita dengan daya berpikir kritis yang kian kritis pula.
Akhirnya, sesungguhnya, kita tak menolak kehadiran AI, tapi tak perlu jua memujanya. Kita memerlukan AI, tapi tak perlu berpasrah purna padanya.
Sekali lagi, AI hanyalah sarana pemermudah. Kita mesti cerdas memanfaatkannya dengan menjunjung tinggi berpikir kritis, nilai, norma, dan etika akademik.
Jangan biarkan kecerdasan buatan lebih cerdas dari buatan manusia. Jangan biarkan critical thinking kita terkurung di dalam kotak AI. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Viktorius P. Feka
Artificial Intelligence
NTT
Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM
Opini Pos Kupang
Universitas Citra Bangsa Kupang
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.