Opini

Opini: Pusaka Leluhur Malaka Dicuri

Dalam konteks budaya adat Timor, hal ini bukan sekadar kriminalitas, melainkan pengkhianatan terhadap darah leluhur dan kehormatan komunitas.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Dr. Vincentius Mauk, S.Pd., M.Pd. 

Oleh: Dr. Vincentius Mauk, S.Pd., M.Pd.
Pemerhati Budaya dan Dosen di Universitas Timor, Kefamenanu Timor Tengah Utara - NTT

POS-KUPANG.COM - Hilangnya benda pusaka sakral seperti Kabir Mean (tempat sirih terbuat dari emas), K’noa Mea (tongkat emas), dan Surik Samara (kelewang sakral berusia ratusan tahun) dari Tafatik Liurai Malaka dan Tafatik Niba-niba di Kampung Builaran, bukan sekadar kehilangan barang antik. 

Ini adalah peristiwa duka budaya yang melukai harga diri, memutus warisan sejarah, dan mengguncang fondasi spiritual masyarakat adat Malaka.

Lebih menyedihkan lagi, indikasi kuat menyebutkan bahwa pencurian dilakukan oleh orang dalam mereka yang mestinya menjaga, bukan mengkhianati. 

Dalam konteks budaya adat Timor, hal ini bukan sekadar kriminalitas, melainkan pengkhianatan terhadap darah leluhur dan kehormatan komunitas.

Sakralitas yang Dirusak dari Dalam

Pusaka seperti Kabir Mean dan K’noa Mea bukan sekadar benda emas, melainkan simbol kekuasaan sah, identitas suku, dan tanda kesepakatan antara manusia dan leluhur. 

Dalam ritus adat, benda-benda ini hanya bisa disentuh oleh figur tertentu seperti Na’in atau Liurai, dan hanya digunakan dalam upacara suci seperti Hamis Batar, pelantikan adat, atau perdamaian suku.

Ketika benda-benda ini dicuri, maka yang hilang bukan hanya wujud fisiknya. Yang hilang adalah ruh yang mengikat komunitas dengan masa lalunya, yang rusak adalah kepercayaan kolektif, dan yang tumbang adalah tiang spiritualitas budaya.

Pencurian oleh orang dalam menunjukkan bahwa nilai-nilai adat dan rasa malu terhadap leluhur telah luntur. 

Sakralitas telah diseret ke pasar gelap dan dijadikan komoditas. Ini ironi besar di tengah gempita wacana pelestarian budaya lokal.

Mengapa Ini Bisa Terjadi?

Pertama, ada kekosongan sistem pengamanan adat. Tafatik sebagai ruang keramat tak memiliki pengamanan modern, karena selama ratusan tahun, kepercayaan terhadap larangan adat dan rasa takut terhadap kutukan leluhur menjadi penjaga utama.

Kedua, terjadi krisis nilai dalam generasi penerus. Globalisasi dan materialisme masuk lebih cepat daripada transmisi nilai adat. 

Mereka yang seharusnya menjaga justru menggadaikan harga diri budaya demi keuntungan pribadi.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved