Cerpen

Cerpen: Rumah Doa yang Tak Pernah Tutup

Dan yang paling penting, lorong ini membuktikan bahwa doa adalah bahasa yang dipahami semua orang. Tanpa memandang agama, suku, atau status. 

Editor: Dion DB Putra
unsplash.com
ILUSTRASI 

Oleh: Rismayani Achmad *
 
POS-KUPANG.COM - Pukul tiga pagi. Lorong rumah sakit seperti pembuluh darah yang berhenti berdetak. Hening. Tapi tidak sunyi. 

Lorong ini penuh doa-doa yang mengalir seperti udara, tak terlihat tapi selalu ada. 

Pengharapan menggantung di setiap sudut, menempel di dinding putih, bercampur dengan aroma antiseptik.

"Tuhan, kalau memang harus pilih, ambil saya saja."

Suara dari kamar 203. Ibu muda itu sudah tiga hari tidak pulang. Anaknya demam berdarah. Trombosit turun terus.

Pak Sarno mengepel lantai sambil mendengar bisikan itu. Sudah dua puluh tahun dia menyaksikan doa-doa tulus di lorong ini. Lorong yang tidak pernah sepi dari harapan. 

Dari bibir yang bergerak tanpa suara, dari mata yang berkaca-kaca menatap langit-langit, dari tangan yang terlipat erat memohon keajaiban.

Di ruang jaga, Dokter Ratna menggenggam stetoskop sambil memejamkan mata. Baru kehilangan pasien. Anak tujuh tahun. Leukemia.

"Ya Allah, berikan aku kekuatan menghadapi keluarganya," bisiknya. "Ampuni aku kalau kurang maksimal."

Security malam, Mas Bambang, duduk di pojok sambil baca Yasin. Istrinya kanker payudara stadium tiga. Dia lembur untuk biaya pengobatan.

"Ya Rahman, sembuhkan istriku. Aku rela kerja sampai tua asal dia sehat."

Di pojok lain, Pak Darmawan, security shift berbeda, sedang berdoa dengan cara lain. Tangannya terlipat, mata terpejam, bibir bergerak pelan.

"Tuhan Yesus, Engkau yang menyembuhkan orang sakit, ulurkan tangan-Mu pada istriku. Beri kami kekuatan menghadapi cobaan ini."

Suster Eni keluar dari kamar 205. Pasien stroke seminggu koma. Keluarga sudah menyerah. Dia belum.

"Pak Harto, anak-anak bapak butuh bapak," bisiknya sambil pegang tangan pasien. "Tuhan, kembalikan beliau."

Di kamar 207, kakek tua duduk samping tempat tidur. Istrinya Alzheimer stadium akhir. Tidak mengenalinya lagi.

"Nek, ingat dulu kita ketemu di pasar?" katanya sambil elus rambut putih istrinya. "Ya Allah, kalau waktunya, bawa kami bersama."

Sementara di kamar sebelah, Bu Linda, perempuan Tionghoa, memegang tasbih Buddha sambil berdoa untuk suaminya yang stroke.

"Amitabha Buddha, semoga karma baik suami saya membawa kesembuhan. Semoga dia bisa pulih dan berkumpul dengan cucu-cucu lagi."

Petugas lab, Mbak Sari, baru ambil darah pasien anak. Tangis bocah itu mengingatkan putranya yang meninggal setahun lalu.

"Tuhan, jaga anak-anak yang masih hidup. Jangan biarkan orang tua lain kehilangan seperti saya."

Di kantin, Pak Joko siapkan bubur gratis untuk keluarga pasien yang kehabisan uang.

"Gusti Allah, semoga rezeki yang saya bagi jadi pahala."

Di parkiran, sopir lain, Pak Joseph, baru selesai antar keluarga pasien. Dia menyalakan lilin kecil di dashboard mobil, berdoa dalam bahasa latin yang dipelajarinya sejak kecil.

"Ave Maria, bunda yang penuh rahmat, doakan kami yang berdosa ini. Lindungi semua keluarga yang sedang berjuang di rumah sakit ini."

Pak Sarno berhenti mengepel. Dia lihat semuanya. Lorong ini seperti rumah doa raksasa yang tak pernah tutup. 24 jam sehari, 7 hari seminggu, selalu ada yang berdoa. 

Dokter yang lelah tapi masih memohon kekuatan. Suster yang tidak menyerah pada pasien koma. 

Keluarga pasien yang khawatir kehilangan belahan jiwa mereka. Semua berdoa dengan cara masing-masing, dalam bahasa yang berbeda, tapi dengan harapan yang sama.

"Subhanallah," bisiknya. "Ternyata tidak cuma saya yang berdoa di sini."
Dokter Ratna keluar ruang jaga. Mata sembab tapi masih kuat.

"Pak Sarno, tahu tidak yang paling aneh dari tempat ini? Semua orang jadi baik. Dokter, suster, petugas, keluarga. Semua berdoa. Semua peduli."

"Makanya saya yakin, Dok. Lorong ini rumah doa yang paling ramai. Tuhan paling dekat sama tempat ini."

"Kenapa?"

"Karena di sini semua orang jujur. Doanya tulus semua."

Dari kamar 203 terdengar bisikan lagi. Lebih pelan.

"Ya Allah, kalau dia sembuh, saya janji jadi ibu yang lebih baik."
"Doa ibu paling mustajab," kata Suster Eni.

"Semua doa di sini mustajab, Sus. Soalnya tulus."

Pukul empat pagi. Shift malam hampir selesai. Tapi rumah doa ini tidak pernah tutup. Doa tidak mengenal jam kerja. Harapan tidak ada cuti.

Mas Bambang tutup Yasin, Pak Darmawan amin-kan doanya, Bu Linda simpan tasbih Buddha, Pak Joseph matikan lilin kecilnya. Tapi semua masih berdoa dalam hati untuk orang yang mereka sayangi.

Lorong yang sama akan dipenuhi doa-doa baru esok malam. Keluarga pasien baru, petugas shift baru, dengan keyakinan yang mungkin berbeda, tapi doa yang sama. Pengharapan yang sama. Cinta yang sama.

Mas Bambang tutup Yasin, masih berdoa untuk istri. Bu Yati selesai bersihkan kamar, masih doakan arwah yang berpulang. Dokter Ratna ganti baju, masih berdoa untuk pasien. Suster Eni check pasien terakhir, sambil berdoa pasien koma segera sadar.

Subuh mulai terbit. Cahaya pertama masuk lewat jendela. Yang malam pulang, yang pagi datang.

Tapi ada yang tidak berganti. Doa, harapan dan cinta.

"Pak Sarno!"

Ibu muda dari kamar 203 keluar. Mata berkaca-kaca. Tapi bukan sedih. "Anaknya sudah sadar! Trombositnya naik!"

Semua di lorong tersenyum. Seperti keluarga.

"Alhamdulillah, Bu. Doa kita dikabulkan."

"Terima kasih sudah ikut berdoa."

Tiba-tiba dari kamar 205 ada suara.

"Sus... Suster..."

Suster Eni berlari. Pak Harto yang koma seminggu tiba-tiba sadar.

"Pak Harto! Alhamdulillah!"
Dua keajaiban dalam satu malam. Atau mungkin bukan keajaiban. Mungkin hasil doa bersama. Doa tulus dari semua orang.

Pak Sarno duduk di bangku lorong. Lelah tapi bahagia. Dia lihat orang-orang di sekelilingnya. 

Orang baik yang setiap malam mengisi lorong ini dengan doa untuk orang lain. Yang peduli pada orang yang bahkan tidak mereka kenal. 

Lorong yang penuh berkah, penuh harapan, penuh kebaikan.

"Pantas lorong ini paling istimewa," pikirnya. "Karena di sini semua orang jadi malaikat. Di sini semua doa bercampur jadi satu, naik ke langit bersama-sama."

Cahaya pagi semakin terang. Hari baru dimulai. Tapi rumah doa ini tidak pernah berhenti beroperasi. Selalu buka. Selalu menerima siapa saja yang ingin berdoa, berharap, mencinta.

Karena di lorong ini, doa bukan hanya ucapan. Doa adalah napas. Doa adalah detak jantung yang menolak menyerah. 

Doa adalah pengharapan yang mengalir di setiap sudut, di setiap langkah kaki yang berlalu-lalang, di setiap bisikan yang terlontar.

Dan yang paling penting, lorong ini membuktikan bahwa doa adalah bahasa yang dipahami semua orang. Tanpa memandang agama, suku, atau status. 

Di lorong penuh berkah ini, semua sama. Semua berharap. Semua berdoa.

"Di tempat yang paling dekat dengan kematian, justru kehidupan paling terasa nyata." (*)

*) Penulis adalah guru SMK di Pulau Sumba yang punya hobi menulis 

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved