Opini

Opini: Menggugat Kurikulum Hari ini dari Ki Hajar Dewantara ke Generasi Z

Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan bukan semata proses transfer ilmu, melainkan upaya memanusiakan manusia secara utuh.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Bernabas Unab 

Pendidikan abad ke-21 membutuhkan guru yang tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pembelajar, mentor, dan penggerak.

Selain itu, masih banyak sekolah yang belum memiliki infrastruktur memadai untuk mendukungpembelajaran digital dan kolaboratif. 

Ketimpangan kualitas pendidikan antarwilayah semakin memperdalam kesenjangan kesempatan belajar. 

Di satu sisi, ada sekolah-sekolah unggulan di kota besar dengan akses teknologi mutakhir. 

Di sisi lain, masih banyak sekolah di daerah yang kekurangan guru, jaringan internet, bahkan listrik. 

Situasi ini menempatkan guru dalam posisi sulit, terlebih saat mereka dituntut untuk menerapkan model pembelajaran abad ke-21 dalam kondisi yang tidak mendukung.

Padahal, dalam masyarakat yang terus berubah, guru seharusnya mendapat dukungan maksimal sebagai aktor utama perubahan pendidikan. 

Ketika guru dibiarkan bekerja dalam keterbatasan, maka pendidikan akan kehilangan arah. 

Sebaliknya, jika guru diberikan otonomi, pelatihan berkelanjutan, dan ruang berinovasi, mereka akan mampu menciptakan pembelajaran yang hidup dan bermakna.

Ki Hajar Dewantara sendiri menekankan pentingnya peran guru sebagai penuntun dan teladan, bukan sekadar penyampai pengetahuan. 

Pendidikan sejati bukan datang dari sistem yang sempurna, melainkan dari hubungan kemanusiaan antara guru dan murid yang saling belajar dan
tumbuh. 

Maka membebaskan guru dari belenggu birokrasi dan memberi mereka kepercayaan adalah syarat mutlak untuk membangun pendidikan yang memerdekakan.

Jalan Reformasi menuju Kurikulum yang Memerdekakan

Memandang pendidikan Indonesia dari kacamata reformasi, kita dihadapkan pada sebuah tantangan besar; bagaimana menciptakan kurikulum yang tidak hanya relevan dengan kebutuhan zaman, tetapi juga mampu membebaskan potensi tiap individu. 

Dalam hal ini, prinsip Merdeka Belajar yang digaungkan oleh pemerintah harus dipahami lebih dari sekadar jargon politik.

Pendidikan harus menjadi fondasi bagi perubahan mendalam dalam sistem pendidikan kita, agar tidak hanya memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, tetapi juga membentuk karakter, nilai-nilai kebangsaan, dan kemampuan berpikir kritis.

Salah satu hal yang mendasar dalam merancang kurikulum yang memerdekakan adalah menggeser paradigma pembelajaran dari pendekatan yang satu arah dan terstandar menuju pendekatan yang lebih fleksibel, berbasis pada konteks, dan berbobot pada pemikiran kreatif serta kritis. 

Kurikulum harus memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi berbagai minat dan bakat mereka melalui pendekatan project-based learning, pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), dan pemanfaatan teknologi secara cerdas (Trilling & Fadel, 2009).

Dalam praktiknya, kurikulum Merdeka Belajar mengedepankan kebebasan bagi sekolah dan guru untuk menentukan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, sekaligus mengintegrasikan kompetensi-kompetensi global. 

Misalnya, di daerah yang lebih maju, kurikulum bisa lebih terfokus pada pengembangan keterampilan teknologi dan literasi digital. 

Sementara di daerah dengan sumber daya terbatas, fokus bisa diberikan pada keterampilan praktis, kewirausahaan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan konteks masyarakat setempat. 

Dengan kata lain, kurikulum bukanlah satu ukuran yang cocok untuk semua, melainkan harus dapat disesuaikan dengan beragam kondisi sosial dan ekonomi yang ada.

Kurikulum yang fleksibel juga berarti menghilangkan pembatasan yang tidak relevan, seperti standar ujian yang hanya mengukur kemampuan menghafal dan menerapkan pengetahuan.

Penilaian harus lebih berfokus pada proses dan perkembangan individu, bukan sekadar hasil ujian. 

Hal ini akan memungkinkan siswa untuk mengembangkan keterampilan lain yang sama pentingnya, seperti empati, kerjasama, dan kecakapan komunikasi (Sahlberg, 2015).

Sebagai tambahan, prinsip Merdeka Belajar menekankan pentingnya integrasi teknologi dalam pembelajaran. Teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi harus menjadi bagian integral dari pengalaman belajar itu sendiri. 

Sebagai contoh, penggunaan aplikasi pembelajaran yang interaktif, media sosial untuk diskusi, atau bahkan pembelajaran berbasis game, dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan mendorong mereka untuk berpikir lebih kreatif.

Penutup

Sebagai bangsa yang terus bergerak maju, kita tidak bisa lagi memandang pendidikan sebagai suatu sistem yang statis dan hanya mengikuti ritme lama. 

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) seharusnya menjadi titik balik untuk merefleksikan kembali tujuan pendidikan kita. 

Pendidikan yang sejati tidak hanya tentang menyiapkan siswa untuk ujian atau pekerjaan, tetapi lebih dari itu, pendidikan harus mampu membebaskan individu agar dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang adil dan bermartabat. 

Inilah yang menjadi tugas kita bersama, sebagai pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik itu sebagai pembuat kebijakan, pendidik, orang tua, maupun siswa itu sendiri.

Namun, refleksi kritis terhadap sistem pendidikan kita saat ini juga harus mencakup evaluasi terhadap implementasi gagasan Ki Hajar Dewantara dalam konteks kekinian. 

Meskipun semboyan Tut Wuri Handayani  sudah sangat sering kita dengar, apakah praktiknya sudah sesuai dengan harapan? 

Apakah sistem pendidikan kita saat ini sudah memberikan kebebasan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka? 

Atau justru sebaliknya, mereka terjebak dalam proses yang mekanistik, di mana kreativitas, pemikiran kritis, dan nilai-nilai kemanusiaan sering kali menjadi korban dari kurikulum yang kaku dan ujian yang seragam?

Pendidikan harus mencerminkan semangat perubahan. Jika kita berharap untuk melahirkan generasi muda yang memiliki pemikiran terbuka dan mampu beradaptasi dengan dunia yang serba cepat ini, maka sistem pendidikan kita juga harus dinamis dan berani menghadapi perubahan. 

Oleh karena itu, kurikulum yang fleksibel dan berbasis pada kebutuhan siswa harus menjadi landasan pembaruan pendidikan Indonesia. Kurikulum yang tidak hanya mendorong keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan yang inklusif.

Namun, hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan perbaikan-perbaikan kecil. Apa yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik yang mencakup pelatihan guru yang lebih baik, kebijakan yang mendukung inovasi pendidikan, serta partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam merancang pendidikan yang relevan dan inklusif. 

Perubahan ini harus bersifat menyeluruh dan berkelanjutan, bukan sekadar reaksi terhadap tren global semata.

Dalam konteks ini, pendidikan bukan lagi sekadar tentang pengajaran di ruang kelas, tetapi tentang menciptakan sebuah gerakan sosial yang memprioritaskan pemikiran kritis, kolaborasi,Cdan pengembangan diri. 

Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, Pendidikan itu haruslah menjadi pembebasan, bukan pemenjaraan  (Dewantara, 1935). 

Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang memberikan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh, berkembang, dan berkontribusi dalam masyarakat yang lebih baik.

Dengan demikian, Hardiknas seharusnya menjadi momen untuk menilai sejauh mana Pendidikan kita sudah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip ini. Apakah kita telah melangkah ke arah yang benar, atau justru terperangkap dalam rutinitas yang tidak memberi ruang bagi kreativitas dan
kemerdekaan berpikir? 

Jika kita benar-benar ingin meraih Indonesia Emas 2045, Pendidikan harus menjadi kunci perubahan yang mendalam, bukan hanya untuk mengembangkan keterampilan, tetapi untuk membentuk karakter bangsa yang siap menghadapi tantangan global dengan kepala tegak. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved