Opini
Opini: Menggugat Kurikulum Hari ini dari Ki Hajar Dewantara ke Generasi Z
Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan bukan semata proses transfer ilmu, melainkan upaya memanusiakan manusia secara utuh.
Akibatnya, banyak siswa merasa tidak terhubung dengan materi pelajaran yang mereka pelajari, bahkan merasa sekolah menjadi tempat yang membosankan dan membebani.
Kurikulum yang diterapkan secara seragam dari Sabang hingga Merauke sering kali gagal menangkap konteks lokal dan keunikan tiap peserta didik.
Pendidikan menjadi terlalu sentralistik dan top-down, sementara Generasi Z menuntut pendekatan yang personal, kontekstual, dan dialogis.
Mereka ingin tahu mengapa sebelum bagaimana dan membutuhkan ruang untuk mengeksplorasi, bukan hanya mengikuti perintah.
Lebih dari itu, ketertinggalan kurikulum juga tampak dalam kurangnya integrasi teknologi secara bermakna.
Banyak sekolah masih memperlakukan teknologi sebagai pelengkap atau sekadar alat presentasi, bukan sebagai bagian dari strategi pembelajaran yang holistik.
Padahal, bagi Generasi Z, teknologi adalah ruang eksistensi sekaligus alat berpikir. Tanpa integrasi teknologi yang kritis dan kreatif, sekolah justru akan menjadi entitas yang asing dalam kehidupan mereka.
Ketimpangan antara dinamika generasi muda dan stagnasi sistem pendidikan ini berisiko menciptakan learning gap yang semakin lebar.
Jika tidak segera diatasi, pendidikan formal bisa kehilangan maknanya di mata generasi penerus bangsa, dan justru digantikan oleh platform alternatif yang belum tentu memiliki nilai edukatif yang kuat.
Tantangan Guru dan Sistem Pembelajaran
Jika siswa merupakan pusat dari proses belajar, maka guru adalah jantungnya.
Namun, dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini, para guru kerap terjebak dalam tekanan administratif dan kebijakan yang justru menjauhkan mereka dari peran idealnya sebagai fasilitator pembelajaran yang kreatif dan kontekstual.
Alih-alih diberi ruang untuk merancang proses belajar yang sesuai kebutuhan siswa, banyak guru justru harus menghabiskan waktu dan energi untuk mengisi laporan, mengejar target kurikulum, atau memenuhi tuntutan akreditasi yang kaku.
Menurut Yuliana (2022), minimnya pelatihan pedagogi berbasis teknologi dan metode pembelajaran aktif menyebabkan banyak guru belum mampu mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan karakter Generasi Z.
Dalam konteks ini, tantangan bukan hanya datang dari kemampuan guru mengoperasikan perangkat digital, melainkan juga dari kapasitas mereka untuk merancang pembelajaran bermakna yang mendorong siswa berpikir kritis, bekerja sama, dan berinovasi.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.