Opini

Opini: Menggugat Kurikulum Hari ini dari Ki Hajar Dewantara ke Generasi Z

Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan bukan semata proses transfer ilmu, melainkan upaya memanusiakan manusia secara utuh.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Bernabas Unab 

Oleh: Bernabas Unab
Mahasiswa Filsafat Widya Sasana Malang

POS-KUPANG.COM-  Tanggal 2 Mei bukanlah sekadar hari libur nasional atau seremoni tahunan. 

Ia adalah momen simbolik yang mengingatkan bangsa ini pada sosok yang telah meletakkan dasar bagi Pendidikan nasional yakni Ki Hajar Dewantara

Namun lebih dari sekadar penghormatan historis, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) semestinya dijadikan titik reflektif atas arah pendidikan kita hari ini.

Apakah sistem pendidikan Indonesia masih berakar pada nilai-nilai yang diwariskan Ki Hajar,atau justru telah terjebak dalam rutinitas birokratis yang mengabaikan semangat emansipatorisnya?

Ki Hajar Dewantara pernah menegaskan bahwa pendidikan bukan semata proses transfer ilmu, melainkan upaya memanusiakan manusia secara utuh dalam pikiran, rasa, dan kehendak (Dewantara, 1935). 

Dalam konteks Indonesia yang tengah memasuki era digital dan berhadapan dengan generasi yang tumbuh dalam kecepatan informasi dan disrupsi teknologi, gagasan pendidikan sebagai proses pembebasan menjadi semakin relevan. 

Namun kenyataannya, sistem pendidikan kita masih terlalu sering berpijak pada model lama: seragam, instruksional, dan tidak kontekstual.

Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan hari ini adalah: apakah pendidikan kita benar-benar mempersiapkan generasi muda untuk hidup dalam masyarakat abad ke-21? 

Ataukah kita justru memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan sistem yang gagal memahami karakter zaman?

Jika pendidikan adalah alat untuk membebaskan manusia, maka kurikulum hari ini harus ditinjau bukan sekadar dari segi administratif, tetapi dari segi filosofis dan ideologis.

Pendidikan sebagai Emansipasi

Dalam karya-karyanya, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Dewantara, 1935). 

Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan adalah jalan menuju kemerdekaan manusia bukan sekadar alat mencetak tenaga kerja atau penghafal kurikulum.

Konsep Tut Wuri Handayani, yang kini menjadi semboyan pendidikan nasional, tidak sekadar berarti guru membimbing dari belakang. Ia adalah simbol kepercayaan terhadap kemandirian anak dalam proses belajar. 

Ki Hajar menolak pendekatan yang memaksakan kehendak kepada anak didik. Sebaliknya, ia mendorong pendidikan yang mendengarkan suara anak, mengembangkan daya kritis, serta menumbuhkan tanggung jawab sosial dan moral mereka.

Namun, dalam praktiknya hari ini, semangat emansipatoris ini tampak semakin mengabur. 

Sistem pendidikan cenderung menjadikan peserta didik sebagai objek yang harus mengikuti standar dan ujian, alih-alih subjek yang aktif dalam proses belajar. 

Pendidikan menjadi birokratis dan berorientasi angka—nilai ujian, indeks kelulusan, atau peringkat sekolah yang sering kali mengebiri dimensi kemanusiaan pendidikan itu sendiri (Sahlberg, 2015).

Ironisnya, ketika Generasi Z menunjukkan kreativitas, kemerdekaan berpikir, dan kemampuan adaptif yang tinggi di luar ruang kelas, misalnya melalui media sosial, komunitas kreatif, atau dunia digital pendidikan formal justru sering kali mengekang potensi itu dengan kurikulum yang
kaku dan metode yang satu arah. 

Untuk itu, penting bagi kita untuk kembali ke akar pemikiran Ki Hajar. Pendidikan bukan untuk mencetak manusia seragam, tetapi membentuk manusia yang merdeka, berkarakter, dan mampu hidup dalam dunia yang plural dan dinamis. 

Seperti yang ia tegaskan: “Anak-anak hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu” (Dewantara, 1935).

Generasi Z dan Ketertinggalan Kurikulum

Generasi Z—anak-anak yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam dunia yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. 

Mereka adalah digital native; yang sejak kecil telah terbiasa dengan internet, media sosial, dan perangkat teknologi pintar.

Informasi bagi mereka bukan barang langka, melainkan sesuatu yang dapat diakses dalam hitungan detik. 

Mereka belajar melalui YouTube, menjelajahi dunia lewat TikTok, dan membentuk komunitas lintas batas di dunia maya. 

Di tengah realitas ini, sistem Pendidikan formal Indonesia justru masih berkutat dengan pendekatan belajar konvensional yang tidak sejalan dengan cara belajar generasi ini.

Menurut Trilling dan Fadel (2009), generasi abad ke-21 memerlukan keterampilan berpikir kritis, komunikasi kolaboratif, kreativitas, dan literasi digital, semua hal yang sayangnya belum menjadi arus utama dalam kurikulum Nasional. 

Model pembelajaran yang menekankan hafalan dan jawaban tunggal tidak lagi relevan di tengah dunia yang menuntut fleksibilitas dan inovasi.

Akibatnya, banyak siswa merasa tidak terhubung dengan materi pelajaran yang mereka pelajari, bahkan merasa sekolah menjadi tempat yang membosankan dan membebani.

Kurikulum yang diterapkan secara seragam dari Sabang hingga Merauke sering kali gagal menangkap konteks lokal dan keunikan tiap peserta didik. 

Pendidikan menjadi terlalu sentralistik dan top-down, sementara Generasi Z menuntut pendekatan yang personal, kontekstual, dan dialogis. 

Mereka ingin tahu mengapa sebelum bagaimana  dan membutuhkan ruang untuk mengeksplorasi, bukan hanya mengikuti perintah.

Lebih dari itu, ketertinggalan kurikulum juga tampak dalam kurangnya integrasi teknologi secara bermakna. 

Banyak sekolah masih memperlakukan teknologi sebagai pelengkap atau sekadar alat presentasi, bukan sebagai bagian dari strategi pembelajaran yang holistik. 

Padahal, bagi Generasi Z, teknologi adalah ruang eksistensi sekaligus alat berpikir. Tanpa integrasi teknologi yang kritis dan kreatif, sekolah justru akan menjadi entitas yang asing dalam kehidupan mereka.

Ketimpangan antara dinamika generasi muda dan stagnasi sistem pendidikan ini berisiko menciptakan learning gap yang semakin lebar. 

Jika tidak segera diatasi, pendidikan formal bisa kehilangan maknanya di mata generasi penerus bangsa, dan justru digantikan oleh platform alternatif yang belum tentu memiliki nilai edukatif yang kuat.

Tantangan Guru dan Sistem Pembelajaran

Jika siswa merupakan pusat dari proses belajar, maka guru adalah jantungnya. 

Namun, dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini, para guru kerap terjebak dalam tekanan administratif dan kebijakan yang justru menjauhkan mereka dari peran idealnya sebagai fasilitator pembelajaran yang kreatif dan kontekstual. 

Alih-alih diberi ruang untuk merancang proses belajar yang sesuai kebutuhan siswa, banyak guru justru harus menghabiskan waktu dan energi untuk mengisi laporan, mengejar target kurikulum, atau memenuhi tuntutan akreditasi yang kaku.

Menurut Yuliana (2022), minimnya pelatihan pedagogi berbasis teknologi dan metode pembelajaran aktif menyebabkan banyak guru belum mampu mengadopsi pendekatan yang sesuai dengan karakter Generasi Z. 

Dalam konteks ini, tantangan bukan hanya datang dari kemampuan guru mengoperasikan perangkat digital, melainkan juga dari kapasitas mereka untuk merancang pembelajaran bermakna yang mendorong siswa berpikir kritis, bekerja sama, dan berinovasi.

Pendidikan abad ke-21 membutuhkan guru yang tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga pembelajar, mentor, dan penggerak.

Selain itu, masih banyak sekolah yang belum memiliki infrastruktur memadai untuk mendukungpembelajaran digital dan kolaboratif. 

Ketimpangan kualitas pendidikan antarwilayah semakin memperdalam kesenjangan kesempatan belajar. 

Di satu sisi, ada sekolah-sekolah unggulan di kota besar dengan akses teknologi mutakhir. 

Di sisi lain, masih banyak sekolah di daerah yang kekurangan guru, jaringan internet, bahkan listrik. 

Situasi ini menempatkan guru dalam posisi sulit, terlebih saat mereka dituntut untuk menerapkan model pembelajaran abad ke-21 dalam kondisi yang tidak mendukung.

Padahal, dalam masyarakat yang terus berubah, guru seharusnya mendapat dukungan maksimal sebagai aktor utama perubahan pendidikan. 

Ketika guru dibiarkan bekerja dalam keterbatasan, maka pendidikan akan kehilangan arah. 

Sebaliknya, jika guru diberikan otonomi, pelatihan berkelanjutan, dan ruang berinovasi, mereka akan mampu menciptakan pembelajaran yang hidup dan bermakna.

Ki Hajar Dewantara sendiri menekankan pentingnya peran guru sebagai penuntun dan teladan, bukan sekadar penyampai pengetahuan. 

Pendidikan sejati bukan datang dari sistem yang sempurna, melainkan dari hubungan kemanusiaan antara guru dan murid yang saling belajar dan
tumbuh. 

Maka membebaskan guru dari belenggu birokrasi dan memberi mereka kepercayaan adalah syarat mutlak untuk membangun pendidikan yang memerdekakan.

Jalan Reformasi menuju Kurikulum yang Memerdekakan

Memandang pendidikan Indonesia dari kacamata reformasi, kita dihadapkan pada sebuah tantangan besar; bagaimana menciptakan kurikulum yang tidak hanya relevan dengan kebutuhan zaman, tetapi juga mampu membebaskan potensi tiap individu. 

Dalam hal ini, prinsip Merdeka Belajar yang digaungkan oleh pemerintah harus dipahami lebih dari sekadar jargon politik.

Pendidikan harus menjadi fondasi bagi perubahan mendalam dalam sistem pendidikan kita, agar tidak hanya memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, tetapi juga membentuk karakter, nilai-nilai kebangsaan, dan kemampuan berpikir kritis.

Salah satu hal yang mendasar dalam merancang kurikulum yang memerdekakan adalah menggeser paradigma pembelajaran dari pendekatan yang satu arah dan terstandar menuju pendekatan yang lebih fleksibel, berbasis pada konteks, dan berbobot pada pemikiran kreatif serta kritis. 

Kurikulum harus memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi berbagai minat dan bakat mereka melalui pendekatan project-based learning, pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), dan pemanfaatan teknologi secara cerdas (Trilling & Fadel, 2009).

Dalam praktiknya, kurikulum Merdeka Belajar mengedepankan kebebasan bagi sekolah dan guru untuk menentukan pendekatan yang sesuai dengan kebutuhan lokal, sekaligus mengintegrasikan kompetensi-kompetensi global. 

Misalnya, di daerah yang lebih maju, kurikulum bisa lebih terfokus pada pengembangan keterampilan teknologi dan literasi digital. 

Sementara di daerah dengan sumber daya terbatas, fokus bisa diberikan pada keterampilan praktis, kewirausahaan, dan kecakapan hidup yang relevan dengan konteks masyarakat setempat. 

Dengan kata lain, kurikulum bukanlah satu ukuran yang cocok untuk semua, melainkan harus dapat disesuaikan dengan beragam kondisi sosial dan ekonomi yang ada.

Kurikulum yang fleksibel juga berarti menghilangkan pembatasan yang tidak relevan, seperti standar ujian yang hanya mengukur kemampuan menghafal dan menerapkan pengetahuan.

Penilaian harus lebih berfokus pada proses dan perkembangan individu, bukan sekadar hasil ujian. 

Hal ini akan memungkinkan siswa untuk mengembangkan keterampilan lain yang sama pentingnya, seperti empati, kerjasama, dan kecakapan komunikasi (Sahlberg, 2015).

Sebagai tambahan, prinsip Merdeka Belajar menekankan pentingnya integrasi teknologi dalam pembelajaran. Teknologi bukan lagi sekadar alat bantu, tetapi harus menjadi bagian integral dari pengalaman belajar itu sendiri. 

Sebagai contoh, penggunaan aplikasi pembelajaran yang interaktif, media sosial untuk diskusi, atau bahkan pembelajaran berbasis game, dapat meningkatkan keterlibatan siswa dan mendorong mereka untuk berpikir lebih kreatif.

Penutup

Sebagai bangsa yang terus bergerak maju, kita tidak bisa lagi memandang pendidikan sebagai suatu sistem yang statis dan hanya mengikuti ritme lama. 

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) seharusnya menjadi titik balik untuk merefleksikan kembali tujuan pendidikan kita. 

Pendidikan yang sejati tidak hanya tentang menyiapkan siswa untuk ujian atau pekerjaan, tetapi lebih dari itu, pendidikan harus mampu membebaskan individu agar dapat berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang adil dan bermartabat. 

Inilah yang menjadi tugas kita bersama, sebagai pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan, baik itu sebagai pembuat kebijakan, pendidik, orang tua, maupun siswa itu sendiri.

Namun, refleksi kritis terhadap sistem pendidikan kita saat ini juga harus mencakup evaluasi terhadap implementasi gagasan Ki Hajar Dewantara dalam konteks kekinian. 

Meskipun semboyan Tut Wuri Handayani  sudah sangat sering kita dengar, apakah praktiknya sudah sesuai dengan harapan? 

Apakah sistem pendidikan kita saat ini sudah memberikan kebebasan bagi siswa untuk berkembang sesuai dengan bakat dan minat mereka? 

Atau justru sebaliknya, mereka terjebak dalam proses yang mekanistik, di mana kreativitas, pemikiran kritis, dan nilai-nilai kemanusiaan sering kali menjadi korban dari kurikulum yang kaku dan ujian yang seragam?

Pendidikan harus mencerminkan semangat perubahan. Jika kita berharap untuk melahirkan generasi muda yang memiliki pemikiran terbuka dan mampu beradaptasi dengan dunia yang serba cepat ini, maka sistem pendidikan kita juga harus dinamis dan berani menghadapi perubahan. 

Oleh karena itu, kurikulum yang fleksibel dan berbasis pada kebutuhan siswa harus menjadi landasan pembaruan pendidikan Indonesia. Kurikulum yang tidak hanya mendorong keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan yang inklusif.

Namun, hal ini tidak dapat dicapai hanya dengan perbaikan-perbaikan kecil. Apa yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik yang mencakup pelatihan guru yang lebih baik, kebijakan yang mendukung inovasi pendidikan, serta partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam merancang pendidikan yang relevan dan inklusif. 

Perubahan ini harus bersifat menyeluruh dan berkelanjutan, bukan sekadar reaksi terhadap tren global semata.

Dalam konteks ini, pendidikan bukan lagi sekadar tentang pengajaran di ruang kelas, tetapi tentang menciptakan sebuah gerakan sosial yang memprioritaskan pemikiran kritis, kolaborasi,Cdan pengembangan diri. 

Sebagaimana kata Ki Hajar Dewantara, Pendidikan itu haruslah menjadi pembebasan, bukan pemenjaraan  (Dewantara, 1935). 

Pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang memberikan ruang bagi setiap individu untuk tumbuh, berkembang, dan berkontribusi dalam masyarakat yang lebih baik.

Dengan demikian, Hardiknas seharusnya menjadi momen untuk menilai sejauh mana Pendidikan kita sudah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip ini. Apakah kita telah melangkah ke arah yang benar, atau justru terperangkap dalam rutinitas yang tidak memberi ruang bagi kreativitas dan
kemerdekaan berpikir? 

Jika kita benar-benar ingin meraih Indonesia Emas 2045, Pendidikan harus menjadi kunci perubahan yang mendalam, bukan hanya untuk mengembangkan keterampilan, tetapi untuk membentuk karakter bangsa yang siap menghadapi tantangan global dengan kepala tegak. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved