Opini
Opini: Benarkah Artificial Intelligence Merevitalisasi Ratio?
Secara umum, pendekatan terhadap penelitian AI, dikategorikan menjadi Mhacine Learning dan Deep Learning.
Yang jelas bahwa perkembangan AI mirip dengan perkembangan ratio manusia. Pada mulanya memang AI bekerja sesuai dengan data yang dimasukan oleh proramer. Dalam tingkat ML, peran programer masih sangat dibutuhkan.
Baik dari memasukan data, memproses, lalu sampai pada hasilnya. Misalnya, programer atau agen, mesti memasukan terlebih dahulu data-data tentang kursi dengan segala elemennya.
Lalu, nanti akan diproses melalui gambar-gambar dan data-data tersebut. Usai diproses yang dibantu oleh agen, AI akan memberikan kesimpulan bahwa dengan objek dengan struktur demikian adalah kursi.
Berbeda dengan, DL yang diprogram dengan menggunakan neural netwroks. DL diprogram untuk dapat mengobjektivasi dan memberikan kesimpulan dengan cepat sama seperti manusia.
Manusia apabila melihat meja, tidak perlu membutuhkan waktu untuk memproses dan mengenali strukur-strukturnya lalu memberikan kesimpulan bahwa objek tersebut adalah meja. Melainkan dalam waktu yang sangat singat, langsung memberikan kesimpulan bahwa objek tersebut adalah
meja.
Demikianlah, DL diprogram untuk bisa menyamai kecerdasan manusia menganalisis sesuatu. Tidak perlu membutuhkan waktu yang lama, AI bisa segera memberikan kesimpulan terhadap objek yang ada disekitarnya.
AI secara substansial kecerdasannya juga berproses. Meskipun, semulanya semua data dimasukan oleh agen, namun kecerdasannya untuk memproses dan memberikan kesimpulan juga melalui suatu proses. Apa prosesnya? Jelas melalui intensitas penggunaan terhadapnya.
Apabila intensitasnya semakin tinggi dan efektif, maka proses kecerdasannya semakin meningkat.
Demikian pula apabila intensitasnya menurun, maka kecerdasannya menurun meskipunmenampung banyak data. Hal tersebut, koheren dengan perkembangan ratio manusia. Semakin seseorang belajar, maka rationya semakin matang.
Melalui kondisi demikian, benarkah ratio direvitalisasi oleh AI? Terdapat dua jawaban terhadap pertanyaan tersebut.
Pertama, ratio direvitalisasi. Meskipun ratio direvitalisasi, namun kualitasnya tidak sebanding dengan tindakan membaca sebuah buku.
Artinya, memang benar ratio memperoleh pengetahuan melalui jawaban AI. Namun, proses perkembangannya akan berjalan lambat, sebab di sana tidak ada tindakan dialog.
Ratio manusia akan mengalami proses yang begitu cepat hanya melalui tindakan membaca buku. AI akan langsung memberikan jawaban sesuai dengan apa yang diminta.
Namun, dalam buku manusia tentu perlu dialog untuk mengelaborasikannya. Dan hanya melalui membaca, di sana terdapat dialog yang sengit antar pembaca dengan buku yang di baca.
Kedua, AI direvitalisasi. Meskipun jawaban pertama memvalidasi bahwa ratio direvitalisasi, namun hal yang terjadi yakni secara eksistensial, ratio tidak direvitalisasi.
Hal ini terjadi karena tidak adanya dialog di sana. Artinya, ratio manusia selalu dibutuhkan untuk dapat memproses dan berdialog dengan apa yang dikonsumsinya.
Sedangkan dalam AI ratio tidak dipaksa demikian. Kemudian, di sini yang terjadi yakni ratio semakin memberikan peluang terhadap perkembangan kecerdasan dari AI itu sendiri.
Dengan intensitas tinggi menggunakan AI, jelas ratio menjadi kerdil dan AI semakin cerdas. Hal inilah yang menjadi kecemasan eksistensial manusia. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.