Opini
Opini: Air Mata di Puncak Golgota
Pada hari Jumat Agung ini, umat Kristiani atau lebih khususnya Umat Katolik akan mengenangkan serta menghormati Salib Tuhan.
Kesengsaraan-Nya tak tertahankan lahir batin, hingga Ia mengalami kesepian, kesendirian, serasa ditinggalkan Allah: “AllahKu,Ya AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku”.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pasti ada saat-saat di mana kita juga berteriak kepada Allah: “Allahku Ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku”.
Tetapi yakinlah bahwa ternyata Allah tidak pernah meninggalkan kita. Bagaimana perasaan seorang ayah yang melihat anakNya menderita?
Seperti Yesus yang di atas Salib melihat BapaNya ada di sana, kita pun demikian, bahwa dalam situasi gurun ternyata ada Allah yang juga mencucurkan air mata belas kasihanNya bagi kita.
Salib dan Pengharapan
Dalam tetes darah dan cucuran air mata, terungkaplah kasih Allah pada manusia.
Yesus melihat terang kebangkitan, hingga Ia berserah diri kepada BapaNya, dan dalam tenaga yang masih tersisa Dia masih berdoa: “Ya Bapa, ke dalam tanganMu, Kuserahkan nyawaKu”.
Waktu menyaksikan penderitaan Yesus hingga wafat, kepala pasukan pun bersaksi: “Sungguh orang ini adalah Anak Allah”.
Ada air mata di Puncak Golgota. Air mata yang bukan membahasakan keputusasaan atau penyesalan, melainkan air mata yang menjadi simbol pengharapan, simbol kebaruan bahwa Salib adalah simbol pengharapan, simbol kebararuan iman.
Persitiwa Salib membuka tabir kegelapan bahwasanya hari ini banyak dari kita hidup dalam ilusi kesucian, yang menganggap diri paling suci, paling bersih, padahal di hadapan Allah kita semua adalah murid yang kotor kaki, murid yang selalu membutuhkan Tuhan sebagai penebus.
Salib adalah kekuatan setiap orang beriman. Pada Salib kita mengikat diri, mengikatkan segala keluh kesah kita sebab ada keselamatan.
Sebagai dasar pengharapan, Salib pada dasarnya meberikan suatu cara pandang yang baru tentang bagaimana mengakui keberadan Allah serentak mempersembahkan diri pada Dia.
Misteri Salib yang dikenangkan pada hari raya Jumat Agung mengajak kita supaya dalam untung malang, dalam keadaan jaya ataupun terpuruk, hidup kita sedemikian mengikuti Yesus sendiri supaya orang bilang: “Orang ini anak Tuhan. Orang ini murid Yesus”.
St. Paulus mengatakan begini: “Jika kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau pun mati, kita tetap milik Tuhan”.
Maka di sinilah lepat pengharapan kita bahwa kehidupan kita sebagai umat beriman akan memiliki arti ketika dekat selalu dengan Salib.
Salib sebagai simbol penderitaan, keksengsaraan yang memerdekakan. Kalau kita menderita, kalau kita sengsara, kita memulikan Tuhan dalam pengaharapan, bahwa bersamaNya pengharapan kita akan berbuah. Orang yang berharap kepadaNya tidak akan pernah dikecewakan. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.