Opini
Opini: Homoseksualitas dalam Perspektif Teologi dan Filsafat
Seiring berkembangnya pemikiran teologis, muncul perspektif yang lebih inklusif terhadap homoseksualitas.
Segala bentuk hubungan seksual di luar konteks ini dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Namun, James Alison, seorang imam Katolik dan teolog kontemporer, menegaskan bahwa iman Kristen harus didasarkan pada kasih dan penerimaan terhadap semua orang, termasuk mereka yang memiliki orientasi homoseksual (Faith Beyond Resentment, 2001, hlm. 57-60).
Ia mengkritik interpretasi Alkitab yang digunakan untuk menekan kelompok LGBTQ+, dan berpendapat bahwa gereja seharusnya lebih terbuka dalam menerima keberagaman manusia.
Matthew Vines, seorang teolog Protestan, dalam bukunya God and the Gay Christian (2014, hlm. 112-115), mengajukan tafsir ulang terhadap ayat-ayat Alkitab yang sering digunakan untuk mengutuk homoseksualitas.
Ia berpendapat bahwa Alkitab tidak secara eksplisit melarang hubungan sesama jenis yang berbasis kasih dan komitmen.
Pandangan Filsafat tentang Homoseksualitas
Dalam filsafat, homoseksualitas dipahami melalui berbagai pendekatan, mulai dari etikaklasik hingga pemikiran postmodern yang lebih menyoroti konstruksi sosial.
Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics (Book VIII, hlm. 1162a-1163b), menekankan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan (eudaimonia).
Jika hubungan homoseksual dapat membawa kebahagiaan yang sejati dan memenuhi sifat sosial manusia, maka dapat dikatakan bahwa hubungan tersebut memiliki nilai etis.
Namun, Michel Foucault dalam The History of Sexuality (1976, hlm. 43-45) berpendapat bahwa homoseksualitas sebagai “identitas” adalah konstruksi sosial modern.
Di era kuno, tindakan homoseksual lebih dipahami dalam konteks hubungan sosial dan kekuasaan, bukan sebagai kategori identitas tetap seperti yang kita pahami saat ini.
Judith Butler, dalam Gender Trouble (1990, hlm. 17-21), lebih jauh mengembangkan teori bahwa identitas seksual bukanlah sesuatu yang kodrati, melainkan hasil dari konstruksi social yang berulang.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menganggap heteroseksualitas sebagai sesuatu yang lebih alami dibanding homoseksualitas.
Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir, sebagai filsuf eksistensialis, menegaskan bahwamanusia memiliki kebebasan untuk menentukan identitasnya sendiri (Sartre, Being and Nothingness, 1943, hlm. 555-558; Beauvoir, The Second Sex, 1949, hlm. 432-435).
Jika homoseksualitas adalah bagian dari ekspresi autentik seseorang, maka itu sah secara moral karena sesuai dengan prinsip eksistensialisme yang menekankan kebebasan dan tanggung jawab individu.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.