Opini

Opini: Surat Untuk Kapolda NTT

Kasus ini mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, karena pelakunya adalah perwira kepolisian.  

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Veronika Ata. 

Korban anak dan trauma

Salah satu hal yang perlu diperhatikan ketika terjadi aksi kriminal dan kekerasan seksual terhadap anak adalah bagaimana menjaga anak-anak agar mereka bisa melalui masa traumatik. Di sini upaya perlindungan korban menjadi kunci. 

Saat ini ketiga anak  korban mengalami trauma berat. Mereka ketakutan, cemas, murung, tidak mau melihat orang berpakaian warna coklat, melarikan diri/ bersembunyi dan sering menangis. 

Trauma ini serius. Sebab trauma ini bukan lagi trauma terhadap Fajar seorang, tetapi trauma terhadap aparat kepolisian.

Untuk itu Polri wajib memikirkan bagaimana agar anak-anak bisa dilindungi dan mendapatkan hak-haknya. Termasuk untuk hak restitusi yakni ganti kerugian fisik, psikis, medis dan psikososial oleh pelaku. 

Keluarga korban  meminta agar pelaku dihukuman seberat-beratnya, hukuman mati karena seorang Kapolres, tega melakukan perbuatan keji terhadap anak. Berbagai kelompok masyarakat sipil menentang kejahatan ini.  

Misalnya “Solodaritas Anti Kekerasan dan Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas dan Rentan Di NTT (Saksiminor) telah menyatakan sikap  tegas adili  pelaku dan perlindungan korban. 

Sedangkan “Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual Terhadap Anak”  melakukan aksi  dan menyerahkan Petisi kepada Kapolda NTT. 

Mereka menutut agar Polri bersikap adil dan menuntut ada hukuman tegas terhadap pelaku, meskipun berlatar perwira polisi.

Pasal dan penerapan  hukum bagi pelaku: Kok meringankan?    

Dalam aksi Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kekerasan Seksual terhadap Anak, 10 orang perwakilan peserta aksi diundang masuk oleh Kabid Humas Polda dan Penyidik kasus kekerasan terhadap 3 anak, dan saat itu dibuka pasal-pasal hukum yang hendak diterapkan pihak kepolisian terhadap perwira AKBP Fajar.
Secara berurutan pasal-pasal yang dipakai penyidik adalah:

(1)     UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS No. 12 Tahun 2022)

  • Pasal 6 huruf c: Setiap orang yang melakukan eksploitasi seksual terhadap anak dapat dikenakan pidana.
  • Pasal 12: Setiap orang yang menyebarluaskan, menyiarkan, atau menampilkan konten bermuatan kekerasan seksual dapat dikenakan sanksi pidana.
  • Pasal 14 ayat (1) huruf a dan b: Setiap orang yang memfasilitasi terjadinya kekerasan seksual atau mengambil keuntungan dari tindak pidana tersebut dapat dipidana.
  • Pasal 15 ayat (1) huruf e, g, j, l: Menjerat pelaku yang terlibat dalam pembuatan, penyebaran, atau eksploitasi konten yang berkaitan dengan kekerasan seksual.

(2)     UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE No. 1 Tahun 2024 - Perubahan Kedua)

  • Pasal 27 ayat (1): Setiap orang yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya konten bermuatan pornografi dikenakan pidana.
  • Pasal 45 ayat (1): Ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 27 ayat (1) dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara dan/atau denda Rp1 miliar.

Jika kita teliti, pasal-pasal  yang dipakai di atas ini  tidak  memenuhi rasa keadilan bagi  ketiga anak karena sangat umum, hanya sebagian kecil mengatur tentang perlindungan anak. 

Padahal Indonesia telah  mempunyai UU Perlindungan Anak. Tindakan pelaku harus mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya sebagai bentuk perlindungan dan keadilan bagi korban, selain memberi efek jera bagi pelaku.   

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved