Breaking News

Opini

Opini: Surat Untuk Kapolda NTT

Kasus ini mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian, karena pelakunya adalah perwira kepolisian.  

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Veronika Ata. 

Bila ditelaah lebih jauh, tindak pidana  oleh pelaku Fajar  mencakup beberapa aspek: (1) Kekerasan seksual terhadap anak, (2) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan tujuan eksploitasi seksual, 

(3) penyebaran konten pornografi yang melibatkan anak (4) Transaksi elektronik yang merugikan korban.  

Seharusnya secara yuridis, selain pasal yang diterapkan dalam UU TPKS dan ITE, semestinya Penyidik wajib menerapkan: 

(1)    UU Perlindungan Anak UU No. 35 Tahun 2014. 

Pasal 76E: Eksploitasi seksual terhadap anak dapat dikenakan pidana maksimal 20 tahun penjara.  

Pasal 81: Kekerasan seksual terhadap anak dapat dikenakan pidana 5 hingga 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp 5 miliar.   

(2)    UU no 17 tahun 2016  Tentang Pengesahan Perpu no. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua UU Perlindungan Anak, penambahan pada Pasal 81,  Ayat 5: Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. 

Ayat 7: “Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”.

(3)    UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO No. 21 Tahun 2007). UU TPPO ini harus diterapkan karena memenuhi unsur : Proses, Cara dan Tujuan.  Menjadi pertanyaan,  mengapa tidak diberlakukan? 

Pasal 2 UU TPPO No.21/2007 menyebutkan : Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,  pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut   dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000 dan paling banyak Rp600.000.000. 

(4)    UU Pornografi (UU No. 44 Tahun 2008)  Pasal 37: Pejabat negara yang terlibat dalam produksi atau penyebaran konten pornografi dapat dikenakan pidana yang lebih berat.

Seharusnya jika Kapolda NTT dan para penyidik mau bersikap adil terhadap korban, sekaligus sebagai bentuk penyesalan institusi Polri bahwa ada pejabat Polri telah melakukan hal yang amat sangat tabu dan mengganggu rasa keadilan masyarakat maka keempat UU ini semestinya diterapkan juga karena telah memenuhi unsur pidana.  

Jika Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan Surat Dakwaan lemah, maka dapat menyebabkan hukuman ringan bagi pelaku.  

Bahkan  jika penyidik jeli, ‘jabatan pelaku’ sebagai Kapolres dapat menjadi  pemberat hukuman.   

Sebab tertulis dalam Pasal 81 ayat 3 UU Perlindunga Anak bahwa :  “ Dalam hal tindak pidana  yang dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved