Opini

Opini: Menakar Proyek Geotermal Dari Aspek Keadilan Sosial dan Ekologis

Yang dibutuhkan adalah keseimbangan keduanya melalui tata kelola energi yang transparan, partisipatif, dan berkeadilan

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI JONI K TIRAN
Joni K. Tiran, SH 

Oleh : Joni K Tiran, SH
Konsultan Hukum dan Pemerhati Isu Lingkungan dengan fokus pada keadilan sosial, ekologis, serta perlindungan hak-hak masyarakat adat.

POS-KUPANG.COM - Sangat menarik untuk menyimak Siaran Pers dari Team Advokasi Geothermal Keuskupan Agung Ende tertanggal 18 Agustus 2025 lalu. 

Dikutip dari Harian Pos Kupang, Ketua Team, RD Reginaldus Piperno dalam siaran pers tersebut menyampaikan beberapa hal yang merupakan catatan kritis atas hasil uji petik Tim Satgas bentukan Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Lakalena menyangkut keberlanjutan proyek geotermal di Pulau Flores.

Catatan itu antara lain menyangkut pelaksanaan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang seyogianyalah menjadi pilar utama sebelum pelaksanaan proyek geotermal tersebut. 

Kehadiran siaran pers ini menunjukkan bahwa polemik geotermal bukan sekadar persoalan teknis energi, melainkan berkaitan langsung dengan hak konstitusional masyarakat, legitimasi sosial, serta kredibilitas pemerintah daerah dalam mengelola pembangunan berkelanjutan.

Bahwa Free, Prior and Informed Consent atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) adalah hak masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk menerima atau menolak setiap proyek yang dapat berdampak pada tanah dan lingkungan serta mata pencaharian mereka. 

Prinsip tersebut mencakup tiga elemen utama, yaitu pertama, bahwa masyarakat harus menerima informasi yang lengkap tentang proyek tersebut terutama menyangkut dampaknya terhadap lingkungan.

Selanjutnya yang kedua, masyarakat dalam memberikan persetujuan, haruslah dengan sukarela, tanpa paksaan ataupun tekanan dan intimidasi dari siapapun. 

Ketiga, persetujuan dari masyarakat haruslah didapatkan sebelum sebuah proyek dimulai yang tentu saja guna mencegah konflik saat pelaksanaan proyek tersebut. 

Dengan kata lain, FPIC tidak sekadar formalitas administrasi, tetapi mekanisme partisipasi substantif yang menjamin keberlanjutan pembangunan sekaligus meminimalisir potensi kriminalisasi masyarakat yang menolak.

Sudahkah FPIC dilaksanakan dengan baik dan benar? Sebuah pertanyaan besar yang muncul di kalangan publik saat ini adalah, sudahkah FPIC dilaksanakan dengan baik dan benar? 

Jawabannya tentu saja adalah : Tidak, sebagaimana termuat dalam poin (2) siaran pers tersebut yaitu "bahwa sejak awal masyarakat tidak diberi ruang untuk menentukan secara bebas sikapnya terhadap proyek geotermal tersebut." 

Penulis cenderung sependapat oleh karena jika FPIC telah dijalankan dengan baik dan benar, tidak mungkin akan ada penolakan seperti saat ini yang berpotensi menimbulkan konflik di kalangan masyarakat. 

Kondisi ini menandakan adanya defisit demokrasi dalam proses pengambilan keputusan. 

Alih-alih menjadi subjek pembangunan, masyarakat ditempatkan sekadar sebagai objek kebijakan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved