Opini

Opini: Memaknai Kembali HUT Kemerdekaan Indonesia dalam Alur Dialektika Sejarah

Lebih dari itu, angka 80 juga mengingatkan pada perjalanan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mengukir sejarahnya sendiri. 

Editor: Dion DB Putra
DOKUMENTASI PRIBADI PATRISIUS HARYONO
Patrisius Haryono 

Oleh: Patrisius Haryono
Alumnus Pascasarjana Teologi IFTK Ledalero,  Pastor Vikaris Paroki Hati Tersuci Santa Maria Wudu, Keuskupan Agung Ende - Flores NTT

POS-KUPANG.COM - Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia telah menetapkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. 

Atas dasar kemerdekaan yang telah diproklamasikan, Indonesia lalu berjalan sebagai sebua bangsa dan negara yang sudah menginjakkan kaki di usia ke-80 tahun. 

Dengan itu, angka 80 tidak sekadar hitam di atas putih atau embel-embel sebuah logo belaka. 

Lebih dari itu, angka 80 juga mengingatkan pada perjalanan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mengukir sejarahnya sendiri. 

Dalam hubungan dengan perjalanan sebuah bangsa yang menyejarah, tentu ada peristiwa di masa lampau yang perlu dikenang, ada peristiwa masa kini yang sedang dijalani dan ada masa depan yang sedang dicita-citakan bersama. 

Dalam kaitan dengan perjalanan sebagai bangsa yang menyejarah ini pula, tidak terlepas dari apa yang oleh Filsuf berkebangsaan Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) sebagai perwujudan dari roh absolut menuju kebebasan yang bergerak secara dialektis. 

Pembacaan Hegel atas sejarah yang bekembang dalam alur dialektis ini tidak terlepas dari konsepnya tentang dialektika triade dalam filsafat yang terdiri atas tiga momen penting.

Pertama, momen pemahaman di mana konsep memiliki definisi yang stabil (tesis). 

Kedua, momen dialektika atau rasio negatif adalah momen ketidakstabilan (antitesis). 

Dalam momen ini, batasan dalam definisi yang awalnya tetap tersebut berubah menjadi kebalikannya. 

Proses ini oleh Hegel disebut sebagai momen penghapusan diri dengan menggunakan istilah Jerman aufheben yang berarti membatalkan dan mempertahankan secara bersamaan. 

Ketiga, tahapan spekulatif atau rasionalitas positif yang merupakan penyatuan dari kedua momen sebelumnya (sintesis). 

Sebagai ringkasannya, perjalaanan dialektika sejarah ini selalu melalui tiga tahapan penting yaitu tesis, antitesis dan sintesis yang terus bergerak. 

Setiap sintesis dari sebuah sejarah selalu menjadi tesis baru yang melahirkan antitesis dan mengantar pada sintesis baru. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved