Opini

Opini: Menavigasi Danantara

Tentu saja aktivitas ekonomi tidak stagnan hanya karena pemerintah tidak dapat menarik investasi asing yang diandalkan sebagai mesin ekonomi.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK.SEKRETARIAT PRESIDEN
CEO DANANTARA - Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Rosan Roeslani di Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (6/2/2025) lalu. Rosan ditunjuk sebagai Chief Executive Officer (CEO) BPI Danantara. 

Oleh: Habde Adrianus Dami
Pengamat Kebijakan Publik dan Keuangan Daerah, tinggal di Kupang, Nusa Tenggara Timur 

POS-KUPANG.COM - Meski perekonomian telah dileberalisasi sedemikian jauh, pertumbuhan ekonomi belum memenuhi ekspektasi karena tidak berkembangnya investasi. 

Tentu saja aktivitas ekonomi tidak stagnan hanya karena pemerintah tidak dapat menarik investasi asing yang diandalkan sebagai mesin ekonomi.

Sebagai respons untuk mendorong investasi domestik, Presiden Prabowo telah membentuk Badan Pengelolan Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), sebagai solusi mengatasi persoalan saving investment gap.

Danantara  memiliki tujuan: Pertama, mengelola aset BUMN dan mengonsolidasikan investasi nasional; Kedua, meningkatkan efisiensi dan transparansi pengelolaan kekayaan negara dan Ketiga, menarik investasi global dan mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Saat ini ada kehawatiran publik atas masa depan Danantara. Tak terkecuali Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mengatakan ada keraguan sejumlah pihak terhadap tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas Danantara, termasuk potensi konflik kepentingan serta keterlibatan politik yang tidak semestinya, tak memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia.

“Pandangan saya, sebenarnya niat dan tujuan Presiden Prabowo ini baik. Keberadaan Danantara diharapkan bisa memperkuat investasi nasional, utamanya yang bersifat strategis (long-term strategic investment) yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menuju ekonomi Indonesia yang kuat,” kata SBY sebagaimana dikutip dari akun resmi X SBY (3/3/2025).

SBY juga menekankan bahwa kritik terhadap Danantara sebaiknya dipandang positif. 

“Terhadap suara rakyat seperti itu justru mesti membuat para pengelola Danantara tertantang dan mesti pula membuktikan bahwa kecemasan rakyat itu tak akan terjadi,” tambah SBY.

Beririsan dengan itu, kualitas kebijakan publik ditentukan, salah satunya oleh peran serta masyarakat dalam mengartikulasikan preferensi dan kepentingannya dalam diskursus publik yang sehat, dan dinamis-dialektif. Melalui apa yang oleh John Rawls (1997) disebut rasionalitas publik.

Instrumen investasi

Minimnya investasi asing maupun domestik masuk ke Indonesia, antara lain disebabkan oleh: Pertama, Perubahan kebijakan yang sering terjadi, ketidakjelasan hukum, birokrasi yang berbelit membuat investor ragu untuk menanamkan modalnya. 

Kedua, meskipun Indonesia memiliki potensi pasar besar, namun daya saing masih lemah dalam infrastruktur, dan kualitas tenaga kerja,  dibandingkan Vietnam. 

Ketiga, minimnya investor domestik yang mampu berinvestasi dalam skala besar membuat Indonesia sangat bergantung pada modal asing. 

Jika arus modal asing tersendat, pertumbuhan ekonomi juga melambat. Keempat, defisit anggaran dan utang yang meningkat. Pemerintah membutuhkan alternatif pendanaan selain utang luar negeri.

Berpijak dari situasi itulah, disorongkan instrumen investasi Danantara. Danantara tidak secara langsung  menggunakan APBN tetapi  mengelola aset negara yang dipisahkan dari APBN, terutama dividen BUMN, untuk diinvestasikan kembali ke sektor-sektor strategis seperti hilirisasi, infrastruktur, dan ketahanan pangan.

Dengan begitu, Danantara didesain sebagai superholding atau perusahaan induk yang mengendalikan berbagai perusahaan besar di sektor industri sekaligus manajer investasi dari tujuh BUMN yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI, Pertamina, PLN, Telkom Indonesia dan MIND, serta Indonesia Investment Authority (INA).

Namun demikian, yang mengkhawatirkan dari superholding Danantara adalah menggabungkan empat karakteristik industri yang berbeda, yaitu industri perbankan, industri pertambangan, industri migas, dan industri teknologi. 

Tiap entitas bisnis memiliki risiko bisnis dan tantangan yang berbeda. Selain itu, dalam konsep investasi, dana investasi merupakan dana lebih yang siap hilang kapanpun. Sehingga, kalau investasinya gagal, siapa yang menanggung? 

Tidak jelas. Jika menggunakan mekanisme bail out lewat APBN terbuka lebar, namun potensi beban fiskal makin berat dan memperburuk  debt sustainability ratio.

Begitu juga dampak terhadap bank BUMN adalah risiko profitabilitas dan likuiditas bank bisa terganggu. Termasuk  bagaimana nasib depositor yang sangat dipengaruhi  struktur keuangan dan perlindungan simpanan diatur.

Persoalan lain yang perlu mendapat atensi, adalah, beberapa BUMN sudah go public dan kalau dividen yang disasar sistem pembagian ke para pemegang saham akan berpengaruh atau tidak? 

Sebab, dividen menjadi salah satu daya tarik sehingga akan berpengaruh pada harga saham.

Sebagai catatan tambahan, saat ini kepercayaan investor terhadap ekosistem bisnis sedang runtuh yang ditandai dengan anjloknya indeks harga saham gabungan, hingga 6 persen. 

Akibatnya, memicu trading halt. Padahal bursa saham Asia justru menguat (Kompas.com, 18/3/2025).

Apakah ini tanda-tanda konvergensi keruntuhan ekonomi dan struktur pasar keungan, akibat pasar merespons situasi yang tidak baik-baik saja? Boleh jadi separuh jawaban pada disiplin fiskal termasuk pembentukan Danantara.

Konsolidasi manajemen

Dalam pandangan ekonomi kelembagaan, menurut Joseph Stiglitz (2008) yang dikutip Hardy, (2025),  menegaskan SWF yang efektif harus memenuhi tiga prinsip utama: transparansi, akuntabilitas, dan independensi dari tekanan politik. 

Jika sebuah entitas investasi negara dikendalikan kepentingan politik, maka keputusan ekonomi akan rentan terhadap manipulasi dan pengalokasian dana yang tidak efisien.

Kerangka teoritis tersebut menuntut adanya perubahan dan upaya perbaikan yang konsisten dalam pengelolaan asset recycling. 

Selain itu, terobosan yang memberi ruang inovasi dan guidance, diperlukan guna mengantisipasi berbagai dinamika permasalahan tatakelola institusi Danantara.

Dalam konteks itu, semangat reformasi BUMN sejatinya dalam rangka memisahkan antara tiga hal, yakni negara dan pemerintah sebagai regulator, negara dan pemerintah sebagai pemilik saham, dan BUMN sebagai entitas bisnis. Sehingga, Danantara, tidak saja sebagai entitas berupa SWF, tetapi juga sebagai institusi perantara ketiganya (Sasmita, 2025).

Dalam pengertian inilah, negara sebagai regulator, tidak bisa bertindak sekaligus sebagai pemilik saham, apalagi sebagai pelaku atau operator. Pasalnya, hal ini akan membuat posisi negara sebagai regulator menjadi rancu karena harus mengatur dirinya sendiri.

Apabila ditelisik pada aras implementasi untuk ditelaah, jika CEO dan OCD Danantara adalah menteri dan wakil menteri artinya negara dan pemerintah tidak saja mencampuradukan kapasitasnya sebagai regulator sekaligus pemilik saham, tetapi juga sekaligus menjadi operator. 

Itu karena menteri-menterinya yang sejatinya bertindak sebagai perwakilan regulator, juga bertindak sebagai perwakilan pemilik saham sekaligus operator.

Pada perspektif tersebut, pola tatakelola Danantara ini menjadi kabur siapa regulator, pengawas, pemilik saham, dan operatornya, karena semuanya berada dalam satu tangan. Pada titik ini, fungsi check and balances menjadi lemah.

Implikasinya, negara sebagai regulator akan mengeluarkan regulasi yang akan menguntungkan dirinya sendiri, di saat Danantara memutuskan berinventasi, dan hal ini akan membuat pelaku pasar lain terpinggirkan. 

Dengan kata lain, pasar akan terdistorsi sedemikian rupa, karena negara akan berpihak kepada entitas-entitas bisnis yang ia miliki dimana negara adalah juga pemilik sahamnya dan operatornya.

Tanpa penajaman fungsi struktural dan fundamental ini tidak dipilah dan dipilih, maka para manajer Danantara mendapat privilese yang begitu luas dengan diskresinya diberi kewenangan untuk mengelola berbagai sumberdaya baik keuangan maupun non-keuangan.

Kondisi ini, menjustifikasi pandangan Sasmita (2025), “Danantara akan sangat berpeluang untuk mengalami distorsi di tengah jalan, terutama untuk kepentingan politik dan pemerintahan di arena ekonomi. Ini sangat berpotensi mengganggu kesehatan perekonomian nasional secara keseluruhan.”

Bangkitnya kapitalisme

Sejarah perkembangan perekonomian selalu diwarnai ketegangan mendudukkan peran negara, pasar dan masyarakat dengan dosis yang tepat untuk memberikan perubahan terhadap lanskap ekonomi nasional.

Namun, dari sisi sistem ekonomi, atmosfer kehadiran Danantara mencerminkan bangkitnya kapitalisme negara. Setidaknya terdapat tiga konsekuensi: Pertama, menguatnya peran negara dalam perekonomian, dalam mendefinisikan kepentingan nasional dan bagaimana perekonomian diatur.

Kedua, bergesernya paradigma kapitalisme yang berbasis pasar bebas dengan posisi negara sebagai regulator untuk menjaga kepentingan pasar menjadi lebih terencana. 

Ketiga, munculnya kapitalisme negara, bukan berarti kapitalisme akan lenyap. Nasionalisme justru menyuburkan kapitalisme dengan memindahkan wilayah kerjanya pada basis negara dan melestarikan akumulasi kapital yang selama ini jadi denyut nadi kapitalisme.

Akhirnya, dari deskripsi di atas, terlihat kebutuhan cetak biru substantif dan aturan main yang jelas dan tegas menjadi pijakan operasional Danantara

Dengan basis pemikiran itulah, pemerintah perlu mengaksentuasi navigasi tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas  Danantara. (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News 

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved