Opini

Opini: Spiral Kekerasan dalam Peradaban

Kedua undang-undang dikeluarkan dalam tempo yang sama, menunjukkan keterkaitan erat antara tanah dan produksi.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM
Peneliti Institute Research of Governance and Social Change (IRGSC), Dominggus Elcid Li. 

Tanpa adanya upaya untuk mengakomodir perspektif lokal soal tanah, hukum positif yang melanjutkan hukum tanah era kolonial, juga asing terhadap persoalan kaum pribumi, khususnya terkait tanah suku. 

Contohnya, jika tanah suku diperjualbelikan oleh seorang raja di masa lampau di era kolonial, apakah seorang raja atau kepala suku dapat dianggap mewakili pihak penjual. 

Elemen liberal yang menjadi substansi dari Agrarische Wet atau undang-undang agraria di era Belanda memungkinkan kepemilikan tanah oleh individu, dan  tanah diperlakukan sebagai komoditas (penjualan atau penyewaan), dan menjadi basis produksi (perkebunan). 

Hal ini berbeda dengan kebanyakan tanah suku yang diatur berdasarkan nalar kolektif, dan tidak didominasi oleh elemen produksi, karena kebanyakan masih ada dalam skema subsisten. 

Tanah sebagai komoditas diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Belanda mengganti sistem tanam paksa dan rodi. 

Dalam kepentingan Belanda, kedua undang-undang ini menyelesaikan persoalan rendahnya produktivitas di Hindia Belanda. Di sisi lain pengertian tanah oleh warga setempat yang bukan sebagai komoditas tidak dikenal (hingga saat ini) di aras negara.

Mencari jalan keluar bersama

Upaya mencari jalan tengah perlu dihadirkan untuk memecah kebuntuan. Dalam spiral waktu dalam hitungan abad, struktur masyarakat tidak bersifat statis atau tetap. Struktur rasial, feodal, dan kolonial berubah. 

Kompleksitas ini perlu diterima oleh siapa pun, baik penggiat hukum progresif atau yang bersandar pada hukum positif yang mempertahankan status quo.  

Tekanan demografi penduduk yang mengisyaratkan pertambahan penduduk tidak diikuti dengan perluasan lahan, membuat beragam skenario perlu dihadirkan untuk membuka ruang hidup bagi semua. 

Sama halnya dengan tantangan lembaga yang telah mengelola tanah selama satu abad, dan dihadapkan dengan persoalan hak ulayat

Jika persoalan ini tidak mampu diselesaikan di tingkat nasional dalam bentuk undang-undang, maka butuh kearifan lokal untuk menyelesaikan redistribusi tanah dalam kerangka hukum positif yang ada dengan tetap menjaga persatuan. 

Sambil mengingat irisan antara suku,  komunitas (agama), korporasi, dan negara. Bernegosiasi dalam beberapa irisan ini lah yang perlu dikerjakan bersama, dengan mengingat makna bhineka tunggal ika, atau tubuh (corpus) yang satu.  

Konflik ideologis terkait kepemilikan atas tanah, perlu diselesaikan dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi tanah, pola produksi, ritus dan kosmologi di tanah setempat, dan spektrum modernitas. Elemen-elemen ini perlu diurai, untuk mendapatkan pengertian adil, dan masing-masing mendapatkan ruang hidup. 

Dalam kontestasi hukum, entah hukum adat di aras suku, atau hukum positif di aras negara, masing-masing mempunyai garis ideologi. 

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved