Opini
Opini: Spiral Kekerasan dalam Peradaban
Kedua undang-undang dikeluarkan dalam tempo yang sama, menunjukkan keterkaitan erat antara tanah dan produksi.
Tanpa adanya upaya untuk mengakomodir perspektif lokal soal tanah, hukum positif yang melanjutkan hukum tanah era kolonial, juga asing terhadap persoalan kaum pribumi, khususnya terkait tanah suku.
Contohnya, jika tanah suku diperjualbelikan oleh seorang raja di masa lampau di era kolonial, apakah seorang raja atau kepala suku dapat dianggap mewakili pihak penjual.
Elemen liberal yang menjadi substansi dari Agrarische Wet atau undang-undang agraria di era Belanda memungkinkan kepemilikan tanah oleh individu, dan tanah diperlakukan sebagai komoditas (penjualan atau penyewaan), dan menjadi basis produksi (perkebunan).
Hal ini berbeda dengan kebanyakan tanah suku yang diatur berdasarkan nalar kolektif, dan tidak didominasi oleh elemen produksi, karena kebanyakan masih ada dalam skema subsisten.
Tanah sebagai komoditas diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Belanda mengganti sistem tanam paksa dan rodi.
Dalam kepentingan Belanda, kedua undang-undang ini menyelesaikan persoalan rendahnya produktivitas di Hindia Belanda. Di sisi lain pengertian tanah oleh warga setempat yang bukan sebagai komoditas tidak dikenal (hingga saat ini) di aras negara.
Mencari jalan keluar bersama
Upaya mencari jalan tengah perlu dihadirkan untuk memecah kebuntuan. Dalam spiral waktu dalam hitungan abad, struktur masyarakat tidak bersifat statis atau tetap. Struktur rasial, feodal, dan kolonial berubah.
Kompleksitas ini perlu diterima oleh siapa pun, baik penggiat hukum progresif atau yang bersandar pada hukum positif yang mempertahankan status quo.
Tekanan demografi penduduk yang mengisyaratkan pertambahan penduduk tidak diikuti dengan perluasan lahan, membuat beragam skenario perlu dihadirkan untuk membuka ruang hidup bagi semua.
Sama halnya dengan tantangan lembaga yang telah mengelola tanah selama satu abad, dan dihadapkan dengan persoalan hak ulayat.
Jika persoalan ini tidak mampu diselesaikan di tingkat nasional dalam bentuk undang-undang, maka butuh kearifan lokal untuk menyelesaikan redistribusi tanah dalam kerangka hukum positif yang ada dengan tetap menjaga persatuan.
Sambil mengingat irisan antara suku, komunitas (agama), korporasi, dan negara. Bernegosiasi dalam beberapa irisan ini lah yang perlu dikerjakan bersama, dengan mengingat makna bhineka tunggal ika, atau tubuh (corpus) yang satu.
Konflik ideologis terkait kepemilikan atas tanah, perlu diselesaikan dengan tetap memperhatikan aspek ekonomi tanah, pola produksi, ritus dan kosmologi di tanah setempat, dan spektrum modernitas. Elemen-elemen ini perlu diurai, untuk mendapatkan pengertian adil, dan masing-masing mendapatkan ruang hidup.
Dalam kontestasi hukum, entah hukum adat di aras suku, atau hukum positif di aras negara, masing-masing mempunyai garis ideologi.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.