Opini

Opini: Spiral Kekerasan dalam Peradaban

Kedua undang-undang dikeluarkan dalam tempo yang sama, menunjukkan keterkaitan erat antara tanah dan produksi.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM
Peneliti Institute Research of Governance and Social Change (IRGSC), Dominggus Elcid Li. 

Oleh: Dominggus Elcid Li 
Peneliti di Lembaga Riset IRGSC, Research fellow di Universiteit van Amsterdam 2025.   

POS-KUPANG.COM - Konflik dan kekerasan sebaiknya tak cukup dibaca secara faktual, tetapi juga turut dibaca dalam teropong perspektif sosiologi sejarah. 

Dengan cara ini spektrum konflik  bisa dikaji agar cara pandang lain dapat dihadirkan. 

Ini memungkinkan kita untuk paham bahwa kebenaran dalam satu era sangat dipengaruhi oleh hubungan relasional antar lembaga dalam negara (state) dan wacana yang berkembang di masing-masing era. 

Kebenaran yang telah disepakati dituangkan dalam hukum positif oleh para cendekia, dan aparat negara berhak menggunakan elemen koersif untuk penegakan hukum (rule of law) dalam wilayah politiknya. 

Persoalannya menjadi lebih pelik ketika persoalan keadilan dipercakapkan dalam satuan abad. 

Contohnya, dalam konteks Republik Indonesia, pergantian elemen kolonial negara hanya menyentuh stratifikasi rasial di dalamnya dan tidak seluruhnya membuka produk peninggalan kolonialisme yang kuat dipengaruhi logika ekonomi liberal. 

Misalnya Agarische Wet (Staatsblad 1870 No.55) ditetapkan bersamaan dengan Suiker Wet  atau Undang-Undang Gula (S.1870), yang menandai era free enterprise sekian perusahaan perkebunan,  dari sebelumnya yang lebih mengandalkan tanam paksa dan rodi. 

Kedua undang-undang dikeluarkan dalam tempo yang sama, menunjukkan keterkaitan erat antara tanah dan produksi.

Hingga kini, Republik Indonesia belum mampu menyelesaikan Rancangan Undang-Undang Masyarakat (Hukum) Adat, sejak pertama kali dibawa ke DPR tahun 2012. 

Di tahun 2024, peluang pengesahan RUU ini di ujung akhir periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi juga pupus. 

Dalam catatan Maria Sumardjono (2020, xv), terdapat tiga versi RUU yang berasal dari (insiatif): Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), DPR RI, dan DPD RI. Bahkan seorang rekan menyebut, ada lagi satu versi menurut KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). 

Keberadaan beberapa versi RUU,  selain menunjukan kontestasi antar kelembagaan, juga memperlihatkan kepentingan (interest) yang berbeda. 

Ditundanya pembahasan masalah RUU Masyarakat (Hukum) Adat juga menunjukan kesulitan dan kompleksitas persoalan, dan butuh kecakapan tersendiri, agar kompleksitas yang sudah dibayangkan bisa diturunkan dalam undang-undang yang berwibawa. 

Kehadiran UU masyarakat adat, meskipun sangat dibutuhkan, namun implikasinya akan luas karena bergesekan langsung dengan dasar ekonomi liberal, dan keberadaan negara itu sendiri, dalam posisinya berhadapan dengan masyarakat adat, dan entitas sosial lain. 

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved