Opini
Opini: Spiral Kekerasan dalam Peradaban
Kedua undang-undang dikeluarkan dalam tempo yang sama, menunjukkan keterkaitan erat antara tanah dan produksi.
Sulitnya, tanpa UU masyarakat hukum adat, konflik langsung terkait persoalan tanah ulayat pecah di mana-mana.
Dalam pandangan orang awam, anarki hanya dibaca sebagai praktek subversif, tanpa ada kemampuan aparat negara untuk memahami perspektif legal pluralism antar abad.
Sedangkan dalam perspektif yang lain, negara sebagai institusi modern, merupakan kelanjutan dari kolonialisme (Eropa) dalam wajah yang lain.
Dalam langgam ini, kekosongan pembahasan terkait hak ulayat, dianggap sebagai kelanjutan dari kolonialisme (internal). Konflik terjadi dalam spektrum modernitas.
Waktu dan Lipatan Kekerasan
Pasifikasi Jawa terekam dalam perang Diponegoro yang ditandai dengan pematokan tanah makam. Perang Diponegoro berakhir, dan ia ditawan dengan tipu muslihat. Perlahan tapi pasti kedaulatan setempat beralih.
Meski demikian ungkapan patriotik "sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi pati" menolak takluk masih tertinggal dalam ungkapan kolektif.
Setiap ada perubahan struktural dalam satu kawasan, hal mendasar yang biasa menjadi titik api konflik adalah sengketa kepemilikan lahan.
Entah pada saat penaklukan Jawa (1825), penaklukan Flores (1870-1914), peralihan Republik (1945), nasionalisasi (1957), dan pergantian rezim (1965, 1998, 2024).
Di berbagai pelosok di Jawa, daerah-daerah eks perkebunan tebu perusahaan Belanda menjadi sasaran pengambilalihan lahan, juga menjadi alasan pembunuhan di tahun 1965.
Di tahun 2025 patok-patok di pinggir laut Pulau Jawa menjadi bagian dari fenomena ini yang menegaskan bahwa pergantian rezim beriringan dengan tafsir atas kepemilikan (property) lahan.
Negara, Ulayat, Redistribusi Lahan
Meskipun disebut dalam UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria Pasal 3) di era Republik, penetapan masyarakat hukum adat hingga kini masih belum mampu dirumuskan oleh para pembuat undang-undang.
Kepemilikan tanah kolektif (suku) yang khas pribumi belum mampu diturunkan secara tertulis dalam hukum positif Indonesia.
Tantangan ini harus dijawab oleh para cerdik cendekia untuk merumuskan konsep keadilan tanah yang mengakomodiri perspektif lokal.
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.