Opini
Opini: Institusi Hukum atau Mesin Skandal?
Dari kasus suap, rekayasa hukum, hingga keterlibatan dalam mafia kejahatan, citra Polri kian tercoreng di mata publik.
Teori ini mengungkapkan bahwa ketika pelanggaran kecil dibiarkan tanpa konsekuensi, maka lingkungan yang lebih permisif terhadap kejahatan akan terbentuk.
Dalam konteks Polri, praktik impunitas terhadap pelanggaran internal—baik dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, suap, hingga keterlibatan dalam mafia hukum—pada akhirnya memupuk budaya ketidakjujuran yang menjalar dari level bawah hingga ke puncak kepemimpinan.
Kasus-kasus besar yang mencuat ke publik hanyalah puncak gunung es dari masalah struktural yang lebih dalam.
Survei terbaru dari LSI menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan terhadap Polri hanya 71 persen, jauh di bawah Kejaksaan Agung (77 persen) dan KPK (72 persen).
Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi gambaran nyata tentang bagaimana masyarakat melihat Polri sebagai lembaga yang kehilangan integritasnya.
Riset lain dari Transparency International juga mengungkapkan hal yang sama. Bahwa di Indonesia, institusi kepolisian dipersepsikan sebagai salah satu lembaga paling korup.
Demikian dalam Global Corruption Barometer (GCB) 2021, sektor kepolisian tercatat sebagai lembaga dengan laporan suap tertinggi, menandakan bahwa praktik ilegal ini bukan hanya kasus individu, melainkan telah menjadi pola sistemik.
Keberadaan mekanisme pengawasan internal seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri seharusnya menjadi alat pengendalian etika dan disiplin anggota.
Namun, mekanisme ini kerap dipandang tidak efektif. Alih-alih bersikap independen, Propam sering dianggap hanya menjatuhkan sanksi administratif ringan kepada pelanggar dan menghindari tindakan hukum yang lebih serius.
Dalam beberapa kasus, pelanggaran yang melibatkan pejabat tinggi Polri diselesaikan secara tertutup, tanpa transparansi kepada publik.
Akibatnya, masyarakat semakin skeptis terhadap komitmen Polri dalam melakukan reformasi institusional.
Salah satu contoh yang memperjelas kondisi ini adalah kasus Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri, yang menjadi dalang dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
Kasus ini tidak hanya mengungkap bagaimana seorang perwira tinggi memanipulasi sistem hukum alam Polri, tetapi juga menunjukkan bahwa ada budaya menutup-nutupi kejahatan yang sudah lama mengakar.
Fakta bahwa kasus ini baru terungkap setelah tekanan publik yang masif memperlihatkan bahwa tanpa pengawasan dari masyarakat dan media, kasus-kasus serupa bisa saja dikubur tanpa konsekuensi berarti bagi para pelaku.
Dalam perspektif teori sosial, Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish (1975) menjelaskan bahwa kekuasaan dalam institusi tidak hanya dijalankan melalui aturan tertulis, tetapi juga melalui sistem disiplin yang membentuk perilaku individu di dalamnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.