Opini
Opini: Institusi Hukum atau Mesin Skandal?
Dari kasus suap, rekayasa hukum, hingga keterlibatan dalam mafia kejahatan, citra Polri kian tercoreng di mata publik.
Oleh: Ernestus Holivil
Dosen Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Di tengah dinamika sosial dan hukum yang terus berkembang saat ini, Polisi Republik Indonesia (Polri) berdiri sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Sebagai institusi negara, Polri memiliki tanggung jawab besar dalam menegakkan supremasi hukum tetap terjaga.
Namun, di balik mandat tersebut, berbagai skandal melibatkan oknum aparat justru merusak kredibilitas institusi ini.
Dari kasus suap, rekayasa hukum, hingga keterlibatan dalam mafia kejahatan, citra Polri kian tercoreng di mata publik.
Survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa institusi ini memiliki tingkat kepercayaan publik paling rendah dibandingkan lembaga hukum lainnya.
Kejaksaan Agung dan KPK masih dianggap lebih kredibel, sementara Polri justru menghadapi sorotan tajam atas ketidaktransparanannya dalam menangani berbagai kasus hukum.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran: apakah Polri benar-benar masih berfungsi sebagai institusi hukum independen, atau justru telah berubah menjadi "mesin skandal" yang menggerogoti kepercayaan publik?
Apakah Polri masih memiliki kapasitas untuk mereformasi diri sebelum kehancuran kepercayaan ini mencapai titik yang tidak bisa diperbaiki?
Budaya Impunitas
Salah satu masalah mendasar yang membuat Polri kehilangan kepercayaan publik adalah mengakarnya budaya impunitas.
Impunitas, atau ketiadaan hukuman bagi pelanggar hukum di dalam Polri, telah menciptakan ruang aman bagi oknum aparat untuk menyalahgunakan kekuasaan tanpa rasa takut akan konsekuensi.
Ketika aparat yang seharusnya menegakkan hukum justru kebal terhadapnya, maka wibawa hukum itu sendiri menjadi ilusi. Transparansi dalam penanganan kasus yang melibatkan personel kepolisian seringkali dipertanyakan.
Banyak kasus yang berakhir tanpa sanksi tegas atau bahkan tidak pernah sampai ke meja hijau.
Fenomena ini sejalan dengan teori Broken Windows dari James Q. Wilson dan George L. Kelling (1982).
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.