Cerpen
Cerpen: Bayang-Bayang Kemesraan
Ada apa dengan kemesraan mereka? Apakah ada yang salah? Apakah mereka rindu akan sebuah kemesraan?
Oleh: Sr. Herlina Hadia, SSpS
Matahari pagi ini terasa agak berbeda dari hari-hari sebelumnya, sebab kemarin dan hari-hari sebelumnya hujan masih betah untuk datang bercerita dengan bumi.
Entah kisah apa yang mereka ceritakan, hari ini kisah mereka sempat terhenti, karena matahari ingin menampilkan dirinya kepada dunia.
Ia datang bagaikan “pelakor/pebinor” yang mengambil kemesraan hujan dan bumi.
Ada apa dengan kemesraan mereka? Apakah ada yang salah? Apakah mereka rindu akan sebuah kemesraan?
Matahari seolah datang mengingatkan mereka bahwa kemesraan itu tidak selamanya memberi kehidupan bagi satu sama lain dan bagi orang lain di sekitar mereka.
Kemesraan yang kadang membawa kematian bagi penghuni bumi. Matahari memancarkan cahayanya yang sangat indah dan menghangatkan, namun bagiku kehadirannya adalah sebuah peringatan bahwa kemesraan itu tidak selamanya menghangatkan. Matahari seolah mewakili rasa dan resahku saat ini.
Aku sedang berada dalam kenyataan bayang-bayang kemesraan ini. Kemesraan antara agama dan politik, kemesraan antara pemimpin agama dan pelaku politik, yang sama-sama memberi kenyamanan namun kadang mengorbankan sesama yang lain.
Kemesraan antara kesuksesan memaparkan ide-ide dan pengakuan publik namun kadang menutup mata terhadap jeritan ibu pertiwi dan masyarakat kecil.
Kemesraan antara kenyamanan bersembunyi di balik tembok-tembok biara dan rasa hormat dari masyarakat yang sangat luar biasa namun kadang menyalahgunakannya untuk memanipulasi orang kecil atas nama pelayanan.
Kemesraan antara alat teknologi dan para penikmatnya yang kadang menjadikan keluarga dan sesama sebagai orang asing. Aku termenung dan bertanya apa arti sebuah kemesraan?
Rindu yang menghantar kepada kemesraan sebuah perjumpaan seolah diboncengi oleh sebuah tujuan tersembunyi.
Aku tak tahu kemana rindu ini berlabuh, sebab rindu tak sesederhana memimpikan sebuah perjumpaan.
Dalam kebingunganku ini, aku pergi menjumpai ibuku yang sedang sibuk memasak air untuk keperluan kami di gubuk sederhana ini.
Dengan penuh kehangatan seorang ibu ia bertanya “Nak ada apa denganmu, kamu kelihatan resah. Apakah ada persoalan yang menggangumu?”
“Ibu” jawabku, “matahari hari ini sangat membahasakan resahku.
Ia datang seolah mengganggu kemesraan hujan dan bumi yang begitu betah hari-hari ini. Ia datang untuk mengingatkan mereka bahwa berlebihan dalam sebuah kemesraan tidaklah baik.
Aku sedang resah dengan kemesraan dunia saat ini, antara agama dan politik, antara pemimpin gereja dan politik, antara ide-ide dan pengakuan publik. Aku resah Bu, sebab kemesraan itu memanipulasi hak banyak orang dan ibu pertiwi.”
Sambil menambah kayu ke tungku api, ibu menarik nafas panjang dan berujar “Nak, kerinduan pada zaman mudaku menghantar kami untuk saling mengagumi dan membahasakan kekaguman itu dalam surat-surat sederhana yang kami tulis.
Kemesraan itu kami bahasakan dalam kata-kata sederhana kami dan kami tidak membutuhkan pengakuan banyak orang.
Ada begitu banyak orang berpendidikan sekarang sibuk mengumpulkan sertifikat dan lupa untuk peduli dengan sesama.
Ada begitu banyak orang yang begitu sibuk mengatakan diri beragama tapi lupa akan ajaran agamanya. Hujan pasti akan berhenti jika bumi mengatakannya untuk berhenti.
Kemesraan itu akan berhenti jika keduanya sama-sama menyadari bahwa bayang-bayang kemesraan mereka membunuh banyak nyawa.
Aku tak berani berbicara banyak nak, sebab yang aku tahu, kemesraan kayu dan api akan memberi kehidupan bagi kita.
Kemesraan yang menghidupkan, bukan mematikan. Bayang-bayang kemesraan di dunia sekarang memang meresahkan, tetapi yakinlah, masih ada banyak kemesraan yang memerdekakan, yang menghidupkan.”
Setelah mendengar tanggapan sederhana ibu, langit mulai kelihatan gelap, seolah hendak mengusir matahari agar tidak menganggu kenyamanan kemesraannya dengan bumi.
Aku lalu berdiri dalam diam dan masuk ke kamarku, mengambil buku catatan usangku dan mulai menulis,
Dear God...
Aku rindu dan entahlah kepada siapa rindu ini berlabuh. Namun satu yang pasti bahwa rinduku adalah tentang sebuah perjumpaan yang mesra yang menghidupkan antara hujan dan bumi, antara gereja dan negara, antara akademisi dan pengakuan publik.
Kemesraan yang membawa kebaikan bagi banyak orang. Resahku adalah rinduku. Aku ingin kemesraan antara rindu dan resahku bukan hanya sebatas bayang-bayang. (*)
Melbourne, awal Maret 2025
* Sr. Herlina Hadia, SSpS adalah seorang biarawati Katolik, sedang menyelesaikan kuliah S3 di Melbourne Australia.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/Suster-Herlina-Hadia.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.