Opini
Opini: Bunuh Diri Ekologis
Sebaliknya, sikap Gereja yang diam di tengah hiruk-pikuk persoalan sosial yang menghantam masyarakat berarti ada yang salah.
Oleh: Arianto Zany Namang
Analis politik, alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta
POS-KUPANG.COM - Beberapa waktu yang lalu, Uskup Agung Ende Mgr. Paul Budi Kleden secara eksplisit menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal wilayah administratif gerejani pelayanannya.
Penolakan tersebut mesti dibaca sebagai sikap resmi Gereja Katolik menentang eksploitasi alam secara sewenang-wenang atas nama pembangunan dan kesejahteraan tetapi pada saat yang sama alam dan masyarakat lokal menjadi korban.
Sebelum mengeluarkan pernyataan penolakan tersebut, Uskup Budi Kleden melakukan aksi turun ke tengah masyarakat terdampak, melakukan dialog serta analisis terhadap situasi masyarakat terdampak, dan pada gilirannya mengeluarkan sikap tegas tersebut.
Sikap tegas tersebut mendapatkan sambutan hangat baik dari masyarakat setempat, aktivis lingkungan dan kemanusiaan, aktivis mahasiswa, dan sejumlah tokoh masyarakat.
Ada beberapa hal yang perlu diuraikan di sini terkait dengan penolakan Gereja Katolik di Flores terhadap eksploitasi lingkungan alam yang merusak alam dan kelompok masyarakat tertentu itu.
Keberpihakan pada kaum tertindas
Pernyataan penolakan Uskup Budi Kleden itu sekurang-kurangnya menegaskan satu hal yaitu Gereja Katolik tidak absen dari problem sosial umatnya serentak memperlihatkan suatu pilihan moral politik klasik Gereja: preferential option for the poor.
Pilihan untuk berpihak kepada kaum tertindas ini menjadi intisari dari Ajaran Sosial Gereja yang menjadi enabler untuk melawan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan serta mendorong terjadinya gerakan sosial. Sejarah telah membuktikan itu.
Sebaliknya, sikap Gereja yang diam di tengah hiruk-pikuk persoalan sosial yang menghantam masyarakat berarti ada yang salah.
Guru besar sejarah Gereja Prof. Dr. Eddy Kristiyanto dalam bukunya “Sakramen Politik” (2008) sudah memperingatkan gejala kemerosotan ini.
Katanya: “Sejarah Gereja telah mencatat berulang kali, kemerosotan dalam Gereja terjadi ketika para pemimpinnya memburu harta, dan bukan mengupayakan dengan susah payah demi keselamatan jiwa-jiwa gembalaan mereka.”
Keberpihakan kepada mereka yang tertindas tidak bisa tidak mesti dilandasi oleh compassio.
Compassio bukan perasaan iba yang lahir dari fakultas emosional manusiawi, melainkan suatu kewajiban untuk terbuka dan menangkap penderitaan orang lain, gerakan aktif terhadap apa yang dideritai oleh orang lain (Budi Kleden: 2013).
Keberpihakan kepada kaum tertindas yang dilakukan oleh Uskup Budi Kleden tidak bisa sekedar dibaca sebagai tindakan kasihan tetapi sebuah panggilan untuk membangun solidaritas sejati dengan para korban.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.