Opini

Opini: Bunuh Diri Ekologis

Sebaliknya, sikap Gereja yang diam di tengah hiruk-pikuk persoalan sosial yang menghantam masyarakat berarti ada yang salah. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Arianto Zany Namang 

Ada upaya untuk berjalan bersama serentak menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara karena akses terhadap kanal-kanal komunikasi yang dimanupulasi dan disumbat.

Sikap ini dengan sendirinya memperlihatkan bara api ajaran sosial Gereja masih menyala di tengah umat yang dilayaninya. Selalu ada harapan!

Krisis ekologis dan bunuh diri ekologis

Paus Fransiskus melihat krisis ekologis sebagai sebuah problem utama kita dewasa ini. 

Melalui ensiklik Laudato Si’ (LS: 2015), Paus Fransiskus memperlihatkan keadaan ibu bumi yang terluka (wounded world) dan menjadi begitu ringkih (vulnerable world) karena dieksploitasi secara membabi buta.

Situasi ini menyebabkan dunia kita sedang berada di dalam krisis ekologis. Krisis ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: pertama, wajah ganda kemajuan teknologi yang, alih-alih mempermudah kerja-kerja manusiawi, justru membawa manusia kepada batas kehancuran.

Kedua, paradigma teknokratis yang membuat campur tangan manusia secara berlebihan dalam mengintervensi proses-proses alamiah atas nama kecepatan, jumlah produksi, dan keuntungan.

Ketiga, modernitas yang menempatkan manusia sebagai pusat refleksi (antroposentrisme) pada gilirannya meminggirkan alam sejauh sebagai objek untuk dieskploitasi belaka. 

Relasi manusia-alam terbatas sebagai subyek-obyek di mana yang pertama melihat yang terakhir ada sejauh untuk dieksploitasi.

Krisis ekologis menyebabkan ketidakadilan. Dan, yang paling depan merasakan ketidakadilan ini adalah kaum miskin. 

Kata Paus Fransiskus: “Sesungguhnya kerusakan lingkungan dan kemerosotan masyarakat lebih mempengaruhi mereka yang paling lemah di bumi: baik pengalaman hidup sehari-hari maupun penelitian ilmiah menunjukan bahwa dampak terburuk dari semua serangan terhadap lingkungan diderita oleh kaum miskin” (LS 48)

Sebetulnya, sikap sewenang-wenang terhadap alam yang berdampak pada krisis ekologis, mempercepat langkah umat manusia menuju kepada kehancurannya. 

Dengan kata lain—dengan merusak lingkungan secara membabi buta dan meluas—manusia sedang melakukan “bunuh diri ekologis” (ecological suicide) yang menghancurkan sumber kehidupannya sendiri (Cairn: 2002).

Secara tidak sadar manusia sedang menggali kuburan sendiri. Kesadaran akan kita ini terbatas, dengan demikian juga alam tempat kita hidup ini juga terbatas, mengaburkan batas-batas “moral dan fisik” manusia sedemikian rupa sehingga eksploitasi alam semakin marak dan radikal (Widianarko: 2008).

Tanggung jawab sebagai etika!

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved