Opini
Opini: Bunuh Diri Ekologis
Sebaliknya, sikap Gereja yang diam di tengah hiruk-pikuk persoalan sosial yang menghantam masyarakat berarti ada yang salah.
Filosof Hans Jonas mengintrodusir tanggung jawab sebagai suatu “etika baru” mengatasi etika tradisional yang dianggap kurang dapat mengakomodir tantangan saat ini.
Jika etika tradisional, terutama Immanuel Kant, memandang manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, maka Jonas mengikutsertakan alam sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sarana belaka.
Secara singkat padat, Jonas merumuskan imperatif tanggung jawab itu sebagai berikut:
“Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusia sejati di bumi, atau secara negatif: bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu tidak merusak kemungkinan-kemungkinan kehidupan manusiawi sejati mendatang, atau secara sederhana: jangan membahayakan kondisi-kondisi kelanjutan tanpa akhir umat manusia di bumi ini, atau lagi secara positif: masukkan dalam pilihanmu sekarang keutuhan manusia mendatang sebagai bagian dari tujuan kehendakmu” (Magnis-Suseno 2006).
Etika tanggung jawab ini didasarkan pada suatu “heuristika ketakutan” sebagai metode bagi kita untuk mengimajinasikan dampak paling terburuk dari kehancuran alam bagi kita sekarang ini juga bagi generasi mendatang.
Kemampuan untuk membayangkan kemungkinan terburuk membantu kita untuk mengerem dan mencegah tindakan eksploitatif terhadap alam sekaligus membatasi keserakahan.
Misalnya, kita bayangkan saja kalau panas bumi di Sokoria atau Mataloko dieksploitasi secara masif dan meluas sedemikian sehingga pada suatu waktu nanti, tahun 2100 sebut saja begitu, dua wilayah itu hancur dan hilang dari peta Flores.
Tidak hanya itu, masyarakat desa terpaksa pindah dari kampung yang sudah dihuninya sejak leluhur di masa lampau dan dengan demikian terputuslah hubungan mereka dengan tanah adat, kebudayaan, dan sejarahnya. Manusia yang terputus dari akarnya adalah “pengungsi”.
Tanggung jawab bersama
Paus Fransiskus menyebut tahun Yubileum 2025 sebagai tahun “peziarahan pengharapan” yang mengajak kita untuk tidak lelah berharap dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Dalam homilinya pada misa malam Natal dan pembukaan porta sancta untuk tahun Yubileum 2025, Paus Fransiskus menyatakan dengan tegas:
“Pengharapan memanggil kita—sebagaimana dikatakan oleh Santo Agustinus—untuk tidak terganggu dengan hal-hal yang salah dan menemukan keberanian untuk mengubahnya."
"Pengharapan memanggil kita untuk menjadi peziarah yang mengupayakan kebenaran, pemimpi yang tidak pernah lelah, manusia yang terbuka untuk ditantang oleh impian Allah, yaitu sebuah dunia baru di mana kedamaian dan keadilan berkuasa.”
Tanggung jawab untuk melawan segala kemungkaran terhadap ekologi adalah panggilan kita bersama sebagai para peziarah yang senantiasa berharap. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.