Opini
Opini: Agere Contra dan Krisis Menjadi Diri Sendiri
Menariknya, para pengguna media sosial seolah diberi mandat untuk mengomentari atau bahkan menghakimi sesamanya.
Oleh: Agustinus S. Sasmita
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Istilah FOMO ( fear of missing out) atau FOPO (fear of people opinion) bukan lagi suatu yang asing di era ini.
Semua orang berbondong-bondong menaruh perhatian pada apa yang orang nilai terhadap dirinya. Hal itu dapat dilihat dalam halaman komentar di media sosial.
Menariknya, para pengguna media sosial seolah diberi mandat untuk mengomentari atau bahkan menghakimi sesamanya.
Semua orang yang meng-upload potret dirinya ke media sosial, hadir sebagai objek yang siap dikunsumsi oleh para pengamatnya.
Sebagai akibat lanjutnya, orang lain dapat mengomentari apapun yang ia kehendaki tentang apa yang dilihatnya itu.
Media sosial menjadi satu-satunya sarana yang pernah diciptakan oleh umat manusia sebagai “wadah koreksi” secara kolektif.
Dari sekian banyaknya persoalan yang pernah dialami manusia, yang paling dramatis ialah masalah yang ditimbulkan dari media sosial. Setiap orang tampil di layar kaca.
Pada saat yang sama kecemasan meliput para penggunanya mana kala efeknya di luar ekspektasi.
Ironinya, semua orang menyadari akan adanya dampak negatif ketika menggunakan media sosial.
Namun akan ada alasan yang dibuat sebagai pembenaran mengenai hal itu. Saya mencoba mengamati bahwa alasan yang paling fundamental ketika orang ditanyakan mengapa menggunakan media sosial?
Jawabannya ialah demi keperluan diri. Ada berbagai varian keperluan yang dapat dipaparkan di sana.
Namun ketika ditelusuri lebih jauh, bahwa alasan mendasarnya ialah karana orang lain telah menggunakan alat serupa.
Di titik ini sudah dapat dinilai bahwa sesuatu yang menyebar secara mayoritas akan turut menular pada orang yang semula memilih untuk menjadi beda.
Mudahnya pengaruh dari lingkungan hidup bagi seseorang bukan hal yang baru. Dalam sejarah perjalanan umat manusia sudah banyak mencatat persoalan saling mempengaruhi ini.
Tidak heran bila dalam sejarah ilmu pengetahuan, misalnya, kaum stoik mengajarkan betapa pentingnya menjadi diri sendiri.
Seneca, salah seorang dari kaum stoik ini mengungkapkan “if you live according to what others think, you will never be rich”.
Menurutnya, seseorang tidak harus meng-copy paste gaya hidup atau bahkan kepribadian orang lain untuk benar-benar merasa cukup dengan dirinya sendiri.
Lantas, apakah karena hal ini bukan lagi menjadi sesuatu yang baru bagi manusia, kemudian harusnya dinikmati saja?
Menurut saya tidaklah demikian. Ada banyak pemikir atau orang-orang sukses di dunia ini yang mengumandangkan akan pentingnya menjadi diri sendiri.
Menjadi diri sendiri bukan dengan demikian harus mengalienasi diri dari lingkaran sosial.
Menjadi diri sendiri artinya seseorang harus berani keluar dari aliran kerumunan dan menemukan keunikan diri.
Sebagai contoh, Elon Musk tidak dapat sukses mana kala ia tidak berani menjadi beda dari oran lain.
Demikian pula Mark Zuckerberg CEO facebook atau Zhang Yiming, CEO Tiktok, mereka berhasil dalam usahanya karena berani tempil beda dan menjadi diri sendiri.
Bukan hal yang mudah bagi seseorang yang hidup di zaman sekarang untuk melawan arus perubahan.
Namun hanya itu yang menjadi resep mujarab agar dapat menjadi berbeda.
Agere contra atau penemuan makna dari sebuah usaha menjadi berbeda adalah hal yang penting. Mengalir bersama perubahan bukan harus hanyut di dalamnya.
Menjadi hanyut, menurut saya adalah sebuah sikap fatalistik dalam menghadapi sebuah perubahan.
Sedangkan mengalir bersamanya artinya seseorang perlu menjadi sesuatu di dalam arus perubahan itu. Bandingkan apa efek dari mengalir sebagai sesuatu dan hanyut tanpa menjadi sesuatu dalam sebuah arus perubahan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.