Opini

Opini: Wajah Panggung Politik

Wajah praktik politik memuakkan dapat dilihat ketika DPR membahas RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Tata Tertib DPR.

Editor: Dion DB Putra
DOK. PRIBADI
Dr. Yosua Noak Douw, S.Sos, M.Si, MA 

Oleh: Yosua Noak Douw 
Doktor lulusan Universitas Cendrawasih Jayapura - Papua

POS-KUPANG.COM - Jika politik dipahami sebatas game atau permainan, tentu menarik ditonton. Karena itu ia menghibur. 

Namun, di saat bersamaan dalam praktik politik juga bisa jadi dramatis dan memuakkan. 

Tiga persepsi politik itu tercermin bila kita mengikuti perkembangan politik setelah Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 atau sepuluh tahun yang silam. 

Politik menjadi menarik ditonton saat ini bila mencermati bagaimana dua politisi, Prabowo Subianto dan Joko Widodo yang sebelumnya bertarung dengan adu strategi dan taktik memenangkan Pilpres 2014. 

Namun, ujungnya, keduanya bertemu dan saling menyapa satu sama lain penuh persahabatan. Di sana politik menjadi sebuah game yang menghibur. 

Di sisi lain, rona politik terlihat saat publik menyaksikan bagaimana para wakil rakyat di DPR beraksi dalam ruang sidang yang kerap bertingkah dengan gaya bicara yang tak kalah lucunya seperti pelawak beraksi di atas panggung hiburan. 

Di saat yang sama politik juga terlibat memuakkan mencermati sidang kerap tidak diarahkan untuk mencari solusi bagi bangsa dan negara. 

Malah terjadi kuat pendapat tanpa memikirkan asas kebersamaan dan kekeluargaan berpihak pada nilai-nilai Pancasila. 

Wajah praktik politik memuakkan dapat dilihat ketika DPR membahas RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Tata Tertib (Tatib) DPR yang disahkan pada 16 September 2014. 

Selanjutnya, rentetan peristiwa politik (memuakkan) lain disuguhkan di depan saat pembahasan RUU Pilkada hingga terbitnya Perppu Pilkada era Presiden Yudhoyono. 

Begitu pula rentetan peristiwa lain seperti pemilihan pimpinan DPR, penentuan pimpinan Fraksi DPR, penentuan pimpinan komisi hingga penentuan alat kelengkapan Dewan, yang disapu bersih koalisi pendukung Prabowo, dan hanya menyisakan satu kursi untuk perempuan yakni posisi Titiek Soeharto sebagai Wakil Ketua Komisi IV.  

Realitas politik di gedung DPR/MPR parlemen saat itu menjadi sorotan dan sangat reduktif. 

Panggung politik menjadi pertarungan saling menegasi dan mengalahkan antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). 

Dalam derajat tertentu, perhelatan politik di parlemen merupakan miniatur dari perhelatan politik pada tingkat negara-bangsa. 

Idealnya, tiap persoalan yang muncul di tingkat kebangsaan dan kenegaraan dianalisis, diurai, diselesaikan di gedung parlemen. 

Setiap produk politik parlemen dilaksanakan oleh pemerintah di tingkat praktis. 

Gedung parlemen dengan segala atribut dan aktivitas politiknya merupakan laboratorium bersama untuk membahas berbagai persoalan penting menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Politik berwajah ganda

Namun, aktivitas politik yang sedang berlangsung di Senayan pada September 2014, justru berbanding terbalik dari apa yang sedang dipikirkan. 

Panggung politik menunjukkan wajah politik “berwajah ganda” atau “panggung depan” dan “panggung belakang” dalam konstruksi berpikir Erving Goffman (1922-1982), sosiolog dan penulis. 

Menurut Goffman, panggung depan menggambarkan seorang individu cenderung memperagakan perilaku yang tidak otentik alias kamuflase, palsu, dan menipu. 

Namun, kepalsuan yang dipertontonkan hanya ditujukan demi memuaskan emosi para penonton. Dengan kata lain, di panggung depan seseorang tidak menjadi dirinya sendiri, tetapi menjadi orang lain. 

Ketika kembali ke panggung belakang, seseorang kembali ke asalnya. Dia melepas seluruh peran dan atribut kamuflase yang telah dimainkan dan kembali ke identitas kedirian asli. Tidak ada lagi kepura-puraan, tiada lagi permainan peran. 

Di panggung belakang kehidupan tidak bisa dimanipulasi. Semua berjalan alamiah dan tanpa basa basi. Artinya, seseorang di panggung belakang selalu memperlihatkan keasliannya. 

Analisa Goffman di atas paralel dengan panggung politik parlemen. Panggung politik parlemen merupakan panggung depan, yang tak jarang memperlihatkan berbagai kepalsuan. 

Identitas kediriaan yang dipertontonkan di panggung depan sering tidak mewakili identitas kedirian yang sesungguhnya. 

Para elite politik paling sering berbicara mewakili rakyat, tetapi apa yang diperagakan sering tidak sesuai dengan realitas kehidupan sebenarnya, 

Sepak terjang para elite politik sering tidak merespon kebutuhan rakyat kebanyakan. Ada keterputusan peran antara gedung parlemen dan kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Kehidupan di gedung parlemen dengan segala aktivitas politik selalu menunjukkan praktik politik wajah ganda dua. 

Bila proses politik parlemen bermuka dua diwujudkan dalam pemerintahan dengan sistem presidensial, berikut analisa konstruksi berpikirnya. 

Pertama, ketika memilih sistem pemerintahan presidensial, sejak awal sudah disadari bahwa dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan akan terjadi kesenjangan (baca pembelahan) antara pemegang kuasa eksekutif dan legislatif. 

Hal ini sangat mungkin terjadi, bila presiden tidak memperoleh dukungan mayoritas parpol yang berada di lembaga perwakilan rakyat. 

Hal ini sedang terjadi di depan mata. Mayoritas parpol DPR hasil Pemilu 2014 memilih posisi yang berbeda dengan presiden dan wakil presiden. 

Meski selalu ada kekhawatiran bahwa aka nada ketegangan antara DPR dan presiden selama lima tahun ke depan, hal ini merupakan konsekuensi logis dari mandat langsung yang diberikan rakyat secara terpisah kepada eksekutif dan legislatif dalam Pemilu. 

Kedua, meski secara politis tersedia upaya taktis untuk mendapat dukungan dengan membentuk koalisi, namun koalisi tidak selalu memecahkan masalah keterbatasan dukungan bagi presiden di DPR. 

Bahkan, pengalaman periode kedua pemerintahan Presiden Yudhoyono membuktikan bahwa koalisi menjadi simalakama bagi presiden. 

Karena itu, selama berada dalam sistem presidensial, ketegangan hubungan presiden dan DPR tidak mungkin dihindarkan. 

Apalagi ketegangan hubungan demikian merupakan karakter bawaan dan sekaligus konsekuensi logis dalam praktik sistem presidensial. 

Ketiga, bila kesenjangan atau pembelahan antara eksekutif dan legislatif adalah sesuatu yang lazim dalam praktik sistem presidensial, pembelahan dalam internal DPR merupakan sebuah kecenderungan yang relatif baru. 

Pembelahan di internal legislatif lebih merupakan praktik yang terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. 

Dalam sistem tersebut, parpol yang menjadi eksekutif sekaligus menjadi pendukung eksekutif di parlemen. Karena itu, pola susunan partai politik pendukung pemerintah dan oposisi dibedakan secara jelas. 

Logikanya, bilamana sebuah parpol berada dan mendukung pemerintah, dalam setiap perdebatan dan pembahasan agenda di parlemen akan selalu satu suara dengan eksekutif. 

Keempat, dalam sistem pemerintahan presidensial, lembaga perwakilan dan presiden sebagai chief executive memperoleh mandat yang terpisah dari rakyat. 

Karena itu, pemilihan pemilihan dalam sistem presidensial dibedakan secara jelas antara pemilihan lembaga perwakilan dan pemilihan presiden. 

Karena perbedaan pemberian mandat rakyat tersebut, pemegang kuasa legislatif berada dalam kotak yang berbeda dengan pemegang kuasa eksekutif. 

Perbedaan itu mengisyaratkan bahwa berbagai kekuatan politik yang tergabung di dalam legislatif merupakan lembaga yang berada dalam bingkai kolektif kolegial. 

Dengan pemaknaan seperti itu, pembelahan di antara kekuatan politik di lembaga legislatif menjadi sesuatu yang mesti dihindari. 

Memelihara pembelahan dalam lembaga DPR, mandat rakyat tidak akan dilaksanakan maksimal. Selain itu,  dengan adanya pembelahan dalam tubuh parlemen, wakil rakyat akan bekerja di luar logika daulat formal. 

Bahkan akhir dari pembelahan tersebut, berpotensi terjadi pengingkaran terhadap mandat rakyat. Bila itu terjadi di sanalah wajah buram politik terlihat. Who knows. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved