Opini
Opini: Kurikulum Simalakama?
Pilihan menerapkan Kurikulum Merdeka, Kurikulum 2013, atau penyatuan keduanya menjadi Kurikulum Nasional ibarat menunggu bintang jatuh dari langit.
Apakah guru sadar peran mereka sebagai pendidik dan pengajar? Guru itu teladan. Maka pembelajaran bersama guru adalah teladan untuk dilakukan di ruang belajar.
Di sini saya sepakat, kita butuh deep learning yang sedang digagas Pak Menteri. Kita butuh paham filosofi pendidikan, paham konsep belajar, paham pedagogi pembelajaran.
Guru hebat bukan bisa berteriak sangat keras. Guru hebat itu seperti ilmu padi, semakin tinggi semakin merunduk. Tugas guru sampai membawa anak-anak dalam ruang pergumulan dan doa-doa. Bukan sekedar jadi juara kelas atau kompetisi.
Saatnya kita semua melihat fenomena pendidikan secara holistik. Perubahan kurikulum atau pendekatan yang terlalu sering hanya menciptakan kebingungan dan kelelahan di akar rumput.
Bahkan bisa berpotensi melahirkan kegaduhan. Maka itu, kerangka akademik dalam lembar evaluasi terhadap implementasi kurikulum sebelumnya dan yang akan datang menjadi sangat penting.
Kita perlu melihat apa yang berhasil, dan apa yang kurang untuk dilengkapi dalam kebijakan dan kebijaksanaan.
Karena itu, jargon pendidikan bermutu harus diukur dari proses bermutu untuk melahirkan hasil pendidikan bermutu. Pendidkan haruslah kombinasi antara konsep teori dan praktik di lapangan.
Dilema pendidikan hari ini nyata terjadi. Meski banyak momen tercipta untuk menjelaskan apa yang sedang dirisaukan. Simalakama hanya menjadi salah satu tafsir atas fenomena pendidikan di permukaan gunung es.
Sungguh kerisauan telah menjadi momok budaya yang acapkali terjadi setiap periodisasi pemerintahan lima tahun sekali. Ganti presiden ganti kurikulum, atau ganti menteri ganti kurikulum.
Maka itu, di tangan pemerintahan baru, kita menaruh hormat dan harap sangat besar, bahwa peluang emas untuk menciptakan generasi emas harus dilakukan dengan penuh keyakinan, cinta, dan tangung jawab.
Karena itu, apapun keputusan pendidikan dan kurikulum yang akan diterapkan, nomor satu, harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi 79,4 juta Anak Indonesia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.