Opini

Opini: Kurikulum Simalakama?

Pilihan menerapkan Kurikulum Merdeka, Kurikulum 2013, atau penyatuan keduanya menjadi Kurikulum Nasional ibarat menunggu bintang jatuh dari langit. 

Editor: Dion DB Putra
DOK POS-KUPANG.COM
Yahya Ado 

Pendidikan adalah proses jangka Panjang. Pendidikan butuh dedikasi dan visi yang jelas dan terukur (SMART).  

Sebab pendidikan membangun kultur manusia, sedang  kurikulum hanyalah alat administratif. Fokus kita harus tetap pada tujuan pendidikan: menciptakan generasi emas untuk Indonesia Emas. 

Generasi yang berkarakter, kritis, dan siap menghadapi hidup di masa depan. Dalam jiarah ini, kita harus menjadikan kurikulum sebagai jembatan, bukan tembok pemisah antara cita-cita dan makna hidup.

Sedikit ditarik ke belakang, Kurikulum Merdeka telah diluncurkan dengan niat mulia kala itu,   memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru untuk menentukan metode dan materi yang relevan bagi siswa. 

Fokus pada keberagaman konteks lokal untuk memenuhi bakat belajar siswa dengan pembelajaran terdiferensiasi.  

Pertanyaannya, seberapa merdeka sebenarnya kurikulum itu? Banyak guru merasa kebebasan tersebut malah menjadi beban baru karena minimnya pelatihan dan dukungan teknis yang memadai. 

Pelatihan pun lebih diistimewakan pada penguatan Guru Penggerak, Fasilitator Penggerak dan bahkan Sekolah Penggerak. Ada jurang pemisah yang sungguh lebar antara penggerak dan non penggerak ketika itu. 

Di kilas balik yang lain,, Kurikulum 2013, yang dirancang dengan kerangka pembelajaran tematik integratif, pun belum sepenuhnya ditinggalkan saat Kurikulum Merdeka berjalan. 

Alhasil,  banyak sekolah yang terjebak di tengah-tengah, bingung apakah harus berjalan dengan Kurikulum Merdeka atau tetap bertahan pada Kurikulum 2013

Dilema ini terungkap dari banyak suara guru, terutama mereka yang berada di pelosok 3 T (Teringgal, Terdepan, Terluar). 

Lagi-lagi, transisi pemerintahan ini perlu tegas menjamin, agar tambatan yang dibuat di era ini menjamin mimpi ‘pendidikan bermutu untuk semua’ seperti yang diamanahkan. 

Guru Bukan Sales

Dalam setiap perubahan kurikulum, guru sering kali diharapkan memainkan peran optimal dan bahkan overacting. 

Para Pendidik didorong untuk menjadi inovator, fasilitator, sekaligus pelaksana yang sempurna. Sayangnya, guru bukanlah sales yang harus menjual seluruh konsep-konsep  baru tanpa pemahaman mendalam dan dukungan yang memadai. Guru adalah pendidik, bukan tenaga pemasaran. 

Meski kerap, kita salah kaprah mengajar guru dalam ruang pelatihan seperti membekali para sales. Guru diajak berteriak dan bergoyang bersama badut-badut di layar proyektor. Hebohnya luar biasa. 

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved