Opini
Opini: Kurikulum Simalakama?
Pilihan menerapkan Kurikulum Merdeka, Kurikulum 2013, atau penyatuan keduanya menjadi Kurikulum Nasional ibarat menunggu bintang jatuh dari langit.
Oleh: Yahya Ado
Praktisi Pendidikan, Anggota Forum Akademia NTT
POS-KUPANG.COM - Judul tulisan ini agak dilematis. Menggiring pembaca pada dua dialektika; antara pilihan dan kepastian. Sama seperti memakan buah Simalakama. Dimakan ayah mati, tak dimakan ibu mati.
Pilihan menerapkan Kurikulum Merdeka, Kurikulum 2013, atau penyatuan keduanya menjadi Kurikulum Nasional ibarat menunggu bintang jatuh dari langit.
Kita menanti 100 hari transisi pemerintah dan secara tegas menyatakan kurikulum apa yang hendak digunakan.
Yang muncul oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti adalah pendekatan Deep Learning (pembelajaran mendalam) dengan tiga bagian utama; Mindful, Meaningful, dan Joyful.
Pembelajaran yang membuka cara berpikir tumbuh (growth mindset), pembelajaran memahami landasan konsep filosofis yang baik, dan pembelajaran menyenangkan dan bermakna.
Semangat Asta Cita yang hendak menghantar kita ke gerbang Indonesia Emas di 2045. Ini seakan menjadi kompas menuju ke satu titik gemilang.
Menjadi Indonesia emas atau bahkan Indonesia cemas. Tagline pendidikan hari ini yang membumi adalah, ‘Pendidikan Berkualitas Untuk Semua’.
Untuk mendukung itu, telah dirilis enam program prioritas pendidikan dalam motto Gerakan Semesta. Tanpa menyebutkan satu kalimat bahkan satu kata pun tentang Merdeka Belajar, bahkan Guru Penggerak yang konon terancam pupus.
Kurikulum memang seringkali menjadi medan pertarungan ideologis para pembuat kebijakan.
Para konseptor terkadang bicara teoritis berkepanjangan tanpa melibatkan pihak yang paling terdampak: guru dan siswa. Ini salah satu tantangan serius di bidang pendidikan. Kebijakan selalu saja top down.
Padahal, jika kita benar-benar ingin memajukan pendidikan, kurikulum sebaiknya juga dirancang dari bawah ke atas (bottom up). Guru perlu didengar, siswa perlu dilibatkan, dan orang tua perlu dipahami.
Sebab pendidikan bukan sekadar proyek politik. Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan konsistensi dan kesinambungan.
Melanjutkan dan melengkapi kebijakan yang lama, juga adalah cara terhormat untuk berdiri tegak ke depan dalam sebuah peradaban.
Antara Kurikulum Merdeka vs Kurikulum 2013
Pendidikan adalah proses jangka Panjang. Pendidikan butuh dedikasi dan visi yang jelas dan terukur (SMART).
Sebab pendidikan membangun kultur manusia, sedang kurikulum hanyalah alat administratif. Fokus kita harus tetap pada tujuan pendidikan: menciptakan generasi emas untuk Indonesia Emas.
Generasi yang berkarakter, kritis, dan siap menghadapi hidup di masa depan. Dalam jiarah ini, kita harus menjadikan kurikulum sebagai jembatan, bukan tembok pemisah antara cita-cita dan makna hidup.
Sedikit ditarik ke belakang, Kurikulum Merdeka telah diluncurkan dengan niat mulia kala itu, memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru untuk menentukan metode dan materi yang relevan bagi siswa.
Fokus pada keberagaman konteks lokal untuk memenuhi bakat belajar siswa dengan pembelajaran terdiferensiasi.
Pertanyaannya, seberapa merdeka sebenarnya kurikulum itu? Banyak guru merasa kebebasan tersebut malah menjadi beban baru karena minimnya pelatihan dan dukungan teknis yang memadai.
Pelatihan pun lebih diistimewakan pada penguatan Guru Penggerak, Fasilitator Penggerak dan bahkan Sekolah Penggerak. Ada jurang pemisah yang sungguh lebar antara penggerak dan non penggerak ketika itu.
Di kilas balik yang lain,, Kurikulum 2013, yang dirancang dengan kerangka pembelajaran tematik integratif, pun belum sepenuhnya ditinggalkan saat Kurikulum Merdeka berjalan.
Alhasil, banyak sekolah yang terjebak di tengah-tengah, bingung apakah harus berjalan dengan Kurikulum Merdeka atau tetap bertahan pada Kurikulum 2013.
Dilema ini terungkap dari banyak suara guru, terutama mereka yang berada di pelosok 3 T (Teringgal, Terdepan, Terluar).
Lagi-lagi, transisi pemerintahan ini perlu tegas menjamin, agar tambatan yang dibuat di era ini menjamin mimpi ‘pendidikan bermutu untuk semua’ seperti yang diamanahkan.
Guru Bukan Sales
Dalam setiap perubahan kurikulum, guru sering kali diharapkan memainkan peran optimal dan bahkan overacting.
Para Pendidik didorong untuk menjadi inovator, fasilitator, sekaligus pelaksana yang sempurna. Sayangnya, guru bukanlah sales yang harus menjual seluruh konsep-konsep baru tanpa pemahaman mendalam dan dukungan yang memadai. Guru adalah pendidik, bukan tenaga pemasaran.
Meski kerap, kita salah kaprah mengajar guru dalam ruang pelatihan seperti membekali para sales. Guru diajak berteriak dan bergoyang bersama badut-badut di layar proyektor. Hebohnya luar biasa.
Apakah guru sadar peran mereka sebagai pendidik dan pengajar? Guru itu teladan. Maka pembelajaran bersama guru adalah teladan untuk dilakukan di ruang belajar.
Di sini saya sepakat, kita butuh deep learning yang sedang digagas Pak Menteri. Kita butuh paham filosofi pendidikan, paham konsep belajar, paham pedagogi pembelajaran.
Guru hebat bukan bisa berteriak sangat keras. Guru hebat itu seperti ilmu padi, semakin tinggi semakin merunduk. Tugas guru sampai membawa anak-anak dalam ruang pergumulan dan doa-doa. Bukan sekedar jadi juara kelas atau kompetisi.
Saatnya kita semua melihat fenomena pendidikan secara holistik. Perubahan kurikulum atau pendekatan yang terlalu sering hanya menciptakan kebingungan dan kelelahan di akar rumput.
Bahkan bisa berpotensi melahirkan kegaduhan. Maka itu, kerangka akademik dalam lembar evaluasi terhadap implementasi kurikulum sebelumnya dan yang akan datang menjadi sangat penting.
Kita perlu melihat apa yang berhasil, dan apa yang kurang untuk dilengkapi dalam kebijakan dan kebijaksanaan.
Karena itu, jargon pendidikan bermutu harus diukur dari proses bermutu untuk melahirkan hasil pendidikan bermutu. Pendidkan haruslah kombinasi antara konsep teori dan praktik di lapangan.
Dilema pendidikan hari ini nyata terjadi. Meski banyak momen tercipta untuk menjelaskan apa yang sedang dirisaukan. Simalakama hanya menjadi salah satu tafsir atas fenomena pendidikan di permukaan gunung es.
Sungguh kerisauan telah menjadi momok budaya yang acapkali terjadi setiap periodisasi pemerintahan lima tahun sekali. Ganti presiden ganti kurikulum, atau ganti menteri ganti kurikulum.
Maka itu, di tangan pemerintahan baru, kita menaruh hormat dan harap sangat besar, bahwa peluang emas untuk menciptakan generasi emas harus dilakukan dengan penuh keyakinan, cinta, dan tangung jawab.
Karena itu, apapun keputusan pendidikan dan kurikulum yang akan diterapkan, nomor satu, harus mengutamakan kepentingan terbaik bagi 79,4 juta Anak Indonesia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.