Opini

Opini: Yang Hilang dari Kesadaran Bangsa Ini

Abad ini ditandai gelombang globalisasi yang membawa masuk ideologinya ke dalam ruang tak sadar manusia dewasa ini yakni ideologi konsumerisme. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Wilhelmus F.N. Runesi. 

Oleh: Wilhelmus F. N. Runesi
Anggota Komunitas Dusun Flobamora

POS-KUPANG.COM -  Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan sangat berdaulat apabila memiliki satu pegangan yang dapat dijadikan sebagai motor penggerak untuk menjalankan sistem pemerintahan suatu negara. 

Abad ini ditandai gelombang globalisasi yang membawa masuk ideologinya ke dalam ruang tak sadar manusia dewasa ini yakni ideologi konsumerisme

Masyarakat ditipu berbagai narasi yang terdengar mulia. Dalam konteks politik, drama-drama usang para elit politik kita dipentas di ruang publik sambil bersabda: inilah bentuk politik kita. Miris memang!

Indonesia sejak diproklamirkan sebagai negara merdeka, berpegang pada Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. 

Saya lebih tertarik menyebut sebagai pedoman ketimbang ideologi karena secara substansi pemaknaan, pengertian ideologi telah bertentangan dengan makna sila keempat yang adalah makna demokratis. 

Demokrasi tidak pernah bisa disandingkan dengan ideologi dan ideologi tidak akan pernah menyatu dengan demokrasi. Lalu apa yang hilang dari jati diri masyarakat kita? Itulah pertanyaan yang hendak menjadi penuntun bagi saya untuk mencoba menenun benang kusut demokrasi kita yang begitu rumit ini.

Momen Keterbatasan

Apa yang dialami masyarakat kita adalah suatu momen hypnosis. Momen di mana kesadaran manusia kita diarahkan kepada satu kerumitan yang didesain untuk dinikmati lalu dilupakan. 

Tidak untuk dipelajari dan dipahami. Mengapa? Karena dalam sebuah studi, menunjukan bahwa pada tahun 2013, indek kepercayaan masyarakat kita terhadap komoditas barang tertinggi di negara-negara Asia Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa, dan Timur Tengah, (Karlina Supeli, 2013).

Bisa kita bayangkan bila tahun 2013 posisi kita sebagai yang teratas, bagaimana akhir-akhir ini, yang dibarengi dengan sistem pendidikan kita yang buruk ala kurikulum merdeka, di mana seluruh tawaran yang didesain dalam iklan yang begitu menarik merangsek masuk ke dalam ruang privat. 

Masyarakat kita merasa busana yang dipakai saat ke mall, dapat dipakai ke Gereja atau ke ruang-ruang sakral adorasi, misalnya. Lalu apa saja momen keterbatasan itu?

Negara ini secara hukum belum berusia seabad. Namun dalam konteks berbangsa, bangsa ini sudah ada jauh sebelum masehi. 

Kerajaan-kerajaan kuno seperti Majapahit, Kutai Kertanegara, dll., menunjukan bahwa sebagai bangsa kita sudah ada jauh sebelum berbentuk negara. 

Akan tetapi sebagai negara, kita baru berusia belia. Apalagi dalam tuntutan untuk menjadi negara modern, segala jenis upaya dilakukan baik dari segi sosial, politik, ekonomi, dan budaya demi tercapai apa yang dicita-citakan oleh para pendiri negara ini. 

Dari segi pembangunan, negara ini masih tertatih untuk menyesuaikan dengan permainan ekonomi dunia.

Ketergantungan terhadap mata uang asing membuat negara ini tidak bisa berbuat banyak untuk menjangkau gaya pembangunan modern. Kita linglung untuk menentukan model apa yang cocok bagi bangsa ini. 

Akhirnya dengan serampangan mulai membentuk kebijakan yang justru semakin merusak tatanan alam. 

Data kerusakan alam yang dipublikasi setiap akhir tahun oleh Badan Konsorsium Pembaharuan Agraria menunjukan tahun 2023 kerusakan alam mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya. Hal itu terjadi demi satu tujuan: peningkatan ekonomi. 

Akibatnya, masyarakat adat jadi korban, keanekaragaman hayati terancam punah. Keterbatasannya adalah, kita belum memiliki kemampuan yang luas untuk mengolah sumber daya alam kita dengan lebih baik. Akibat dari keterbatasan pengetahuan dan pengaruh globalisasi pasar, kita akhirnya mengalami lompatan.

Lompatan Imajinasi

Negara ini terpaksa untuk menciptakan penyesuaian dengan perkembangan teknologi sambil tertatih-tatih untuk membentuk model pendidikan masyarakat kita. Di mana letak lompatannya? 

Mari kita lihat. Manusia modern yang mendiami negara Indonesia ini sebagian besar tidak sempat mengalami bagaimana mengirim surat menggunakan burung merpati seperti dilakukan oleh bangsa-bangsa besar seperti Mesir Kuno dan Romawi Kuno. Juga tidak sempat mengalami apa itu telepon rumah.

Dua hal itu tidak digapai oleh imajinasi masyarakat kita. Lalu tetiba kita dihadapkan pada sebuah benda digenggaman tangan kita dengan segala macam fitur-fitur yang sepenuhnya mengeksploitasi hasrat manusia lalu diam-diam masyarakat kita mengalami apa yang disebut Jean-Luc Marion sebagai suatu bedazzlement atau keterpukauan. 

“Situasi keterpukauan ini menunjukan bahwa persepsi kita berada dalam kondisi mengalami tanpa mampu merumuskan atau menggambarkan secara logis apa yang sedang terjadi”. 

Kita terpukau dengan berbagai tawaran dan iklan yang muncul di layar gawai kita, tetapi kita tidak menyadari bahwa yang muncul itu segera berlalu tanpa kita sempat memahami maksudnya.

Akhirnya atas rasa keterpukauan itu, nalar masyarakat kita dituntun oleh satu arus kuat yang mengguncang dalam alam bawah sadar kita yakni Konsumerisme.

Sebagaimana diungkapkan oleh Karlina Supeli, nalar kita tidak dididik untuk melihat apa yang hilang dari keseharian kita, melainkan nalar kita dididik untuk mengikuti pola yang ditentukan oleh korporasi dan ekonomi yang mencengkram kesadaran kita sehingga apa yang tampak demokratis ternyata hanyalah kebebasan yang batas-batasnya ditentukan oleh pasar.

Yang Hilang dari Kesadaran Kita

Persoalan besar yang seiring dengan narasi globalisasi telah menjadi satu budaya baru yang menuntut kesiapan kita. Sejauh mana itu terjadi? pengaruh pasar merangsek masuk ke dalam sistem politik kita. Para elit politik tidak lagi bekerja untuk masyarakat. 

Akhir-akhir ini, para elit politik kita saling mengancam, saling bongkar data lama. Hukum bukan lagi alat untuk menciptakan keadilan melainkan alat yang digunakan untuk membungkam lawan. 

Berbagai kasus korupsi tidak kunjung usai, karena sengaja dipelihara untuk kemudian hari dijadikan senjata pembungkaman, kriminalisasi, dsb. 

Dari kejadian-kejadian itu, hal yang hilang dari kebiasaan kita baik sebagai masyarakat dan juga sebagai politikus dan penguasa adalah ketiadaan komitmen dalam diri setiap kita. Kita tidak memiliki komitmen untuk tetap berdiri pada posisi yang benar dan mengatakan yang salah sebagai salah, yang benar adalah benar. 

Ketiadaan komitmen ini membuat kita mudah terprovokasi dan gampang digiring menuju gurun nihilisme. 

Maka yang penting bagi negara ini adalah tingkatkan taraf pendidikan dan bentuk sikap komitmen dan kepercayaan diri untuk tidak berada pada posisi dipengaruhi hasrat manusiawi melainkan pada kebenaran. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved