Opini

Opini: Butterfly Effect dan Konsepsi Perubahan

Berbagai pertanyaan spekulatif ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para kepala daerah untuk menjelaskan kepada publik. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Oleh: Habde Adrianus Dami
Pengamat Kebijakan Publik dan Penganggaran, tinggal di Kota Kupang - NTT

POS-KUPANG.COM - Secara umum penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2024 mencakup 545 daerah, meliputi 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota, telah berjalan lancar sekalipun masih terdapat pengajuan gugatan hasil pilkada ke MK.

Tentu kepala daerah terpilih disamping memiliki popularitas dan elektabilitas juga menguasai permasalahan, baik dari segi sosial, politik, ekonomi, dan manajerial. Dalam tataran yang lebih konkret, para kepala daerah memiliki kapasitas mengemudikan roda pemerintahan.

Titik pandang dalam gelaran pilkada, para kepala daerah terpilih telah menyampaikan janji politik melalui kontestasi gagasan, visi dan misi, kebijakan dan program tentang apa yang akan dilakukan bagi daerah selama lima tahun mendatang.

Secara lebih tajam, satu topik yang menarik untuk dinantikan adalah bagaimana komitmen para kepala daerah yang mengusung konsep perubahan. Hal ini penting mengingat setiap pergantian kepala daerah ditandai beberapa milestone penting yang menunjukkan komitmen dari pemerintah untuk terus meningkatkan dan memperkuat kesejahteraan masyarakat.

Dari sudut pandang ini, pemerintah bekerja untuk rakyat. Dengan melihat sedemikian krusialnya peran pemerintah dalam implementasi konsepsi perubahan, menjadi wajar apabila masyarakat kemudian menantikan apa yang akan dilaksanakan para kepala daerah. 

Apa perubahan atau inovasi terhadap program-program existing, atau adakah program baru yang sudah ditawarkan tersebut, bahkan ada juga keraguan terlintas, jangan sampai terperangkap dalam rutinitas?

Berbagai pertanyaan spekulatif ini tentu akan menjadi tantangan tersendiri bagi para kepala daerah untuk menjelaskan kepada publik. 

Sebab, dalam skala mikro, kegagalan transformasi sering terjadi karena perlawanan terhadap perubahan itu sendiri.

Untuk itu, dibutuhkan pemimpin yang berdaya mendorong perubahan. Tentu asumsinya, pemimpin  memiliki pemahaman yang jernih dan utuh tentang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan, guna menentukan capaian target-target masa depan yang rasional dan terukur.

Butterfly effect

Adalah Lorenz, (1960-an), memperkenalkan butterfly effect dengan menggunakan metafora yang terkenal untuk menggambarkan konsep ini. 

"Apakah ketika sayap kupu-kupu berkepak, akan terjadi tornado di Texas?" Tentu saja ini bukanlah pernyataan literal bahwa kupu-kupu dapat menyebabkan tornado, melainkan sebuah cara untuk menggambarkan bagaimana perubahan kecil dalam satu sistem dapat memicu efek yang jauh lebih besar dalam sistem yang lebih luas (kausalitas).

Jika ditilik dari perspektif tatakelola pemerintahan, butterfly effect dapat menjadi faktor penentu antara keberhasilan dan kegagalan kepala daerah. 

Setiap keputusan yang diambil dalam pemerintah dapat memiliki dampak signifikan pada citra dan kinerja kepala daerah.

Apalagi kita sering menganalogikan kepemimpinan dengan kekuasaan. Seolah-olah begitu dia berkuasa, segalanya akan menjadi lebih mudah untuk bebas mengatur dan mengambil keputusan sesuai dengan janji-janji sebelum terpilih.

Padahal, tanpa disadari pemimpin pun terperangkap oleh pilihan-pilihan kebijakan yang terbatas karena berbagai distorsi; anggaran terbatas, birokrasi ruwet, tumpukan persoalan lama yang tak terselesaikan, kompleksitas prosedur dan regulasi yang menghambat inovasi pemerintah untuk merespons perubahan, dan rendahnya kapasitas pemimpin organisasi terkait manajemen perubahan.

Sementara itu, tuntutan ideal rasionalitas kebijakan sejalan dengan kebutuhan masyarakat sehingga setiap problem yang dihadapi masyarakat bisa dikalkulasi dan dicari jalan keluarnya. 

Kenyataannya, problem yang dihadapi masyarakat selalu kompleks dan sulit dipahami secara linear.

Ironisnya, ketidaksesuaian antara rasionalitas kebijakan dan kebutuhan masyarakat dianggap menjadi hal biasa. Sepertinya masuk akal, tetapi dapat membawa akibat yang menyesatkan. 

Jika demikian berarti pemimpin telah menjebak masyarakat pada kesalahan berpikir yang lain yakni upaya mengkonkretkan sesuatu janji yang pada dasarnya abstrak. Dengan kata lain, janji perubahan berangsur-angsur luntur dan berhenti sebagai retorika.

Secara kategoris, kebijakan yang memanipulasi realitas dan mengemas diskursus publik mengutamakan pencitraan tanpa refleksi dan substansi telah kehilangan kepercayaan dan dimensi optimisme atas isu-isu strategis.

Oleh karena itu, elemen penting dari butterfly effect adalah kepemimpinan pemerintah untuk lakukan perubahan. 

Namun, perubahan yang hanya menyentuh permukaan tanpa memperbaiki sistem dan prosedur tidak akan menghasilkan peningkatan efisiensi dan efektivitas, dengan tujuan meningkatkan kinerja pemerintah dan kesejahteraan masyarakat.

Sebuah antitesis

Sejatinya, fungsi pemerintah adalah memimpin, mengatur, dan melayani. Dapat dimaknai pemerintah daerah memegang peran utama dalam penyelenggaraan program-program pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dalam konteks itu, otonomi daerah tak sekadar dipahami secara monodimensional. Otonomi daerah merupakan instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang nantinya berbanding lurus dengan kepercayaan masyarakat saat memilih pemimpinnya.

Mengacu Undang-Undang Pemerintahan Daerah, telah memuat konsiderasi dan formulasi yang  lugas, tepat sasaran dan visioner menegaskan bahwa pemerintahan daerah dibentuk untuk mengurus urusan wajib dan urusan pilihan. 

Jadi, hakikatnya pemerintahan daerah harus mengutamakan urusan wajib daripada urusan pilihan. Urusan wajib itu soal pendidikan, kesehatan, kemiskinan, pengangguran, perumahan rakyat, dan ketertiban sosial. 

Angka kemiskinan dan pengangguran merupakan indikator fundamental dalam mengukur efektivitas kerja pemerintah.

Disamping berkaitan langsung dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat, indikator ini juga menjadi modal sosial untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sekaligus mencerminkan ada tidaknya kehadiran pemimpin untuk menyejahterakan rakyatnya.

Pemenuhan urusan wajib bukan hanya menjadi kewajiban kepala daerah, tetapi juga menjadi kewajiban bagi DPRD. Karena, UU Pemda mengatakan, Pemerintah Daerah (Kepala Daerah dan DPRD) adalah penyelenggara pemerintahan daerah.

Mengingat penyusunan APBD merupakan instrumen ideologis, bukan hanya instrumen teknokratis. Karena itu, program-program yang dilaksanakan oleh daerah harus dibuat  bersama-sama dengan proporsi belanja wajib yang tepat.

Namun melihat realitasnya di lapangan, banyak daerah yang beralasan, tidak terpenuhinya urusan wajib tersebut karena persoalan anggaran. 

Fakta tersebut bisa dibantah dengan mengonfirmasi rincian APBD. Jika di APBD, anggaran urusan wajib lebih sedikit daripada urusan pilihan, perlu dipertanyakan komitmen kepala daerah dan DPRD dalam mengurus daerahnya.

Bahkan ada kerancuan, alasan pertimbangan pemerintah berusaha menyenangkan hati rakyat, namun demikian, bobot menyejahterakan rakyat jauh lebih penting. Sehingga, pemerintahan daerah harus lebih mengutamakan urusan wajib daripada pilihan dengan membuat taman-taman atau monumen yang instagramable. 

Sebab, anggaran untuk semua itu tidak sedikit, tetapi manfaatnya hanya bisa dinikmati sebagian masyarakat.

Fakta empiris ini merupakan sebuah antitesis, ketika pemerintahan daerah lebih fokus terhadap program-program yang instragamable daripada urusan wajib. 

Implikasinya, bisa dilihat banyak pemerintah daerah yang tidak siap saat mengatasi persoalan stunting, pengangguran, kemiskinan, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan yang tidak lengkap.

Pemimpin yang mengambil kebijakan kontradiktoris melalui program instragamable tersebut sungguh suatu anomali karena bertentangan dengan logika teoritis dan praktik tatakelola otonomi daerah maupun amanat konstitusi.

Tampaknya, ada banyak komplikasi dari inkonsistensi kebijakan yang harus diselesaikan secara sistimatis. Berbagai pokok soal diatas harus dicermati dan diurai kekusutan sistem managerial pembangunan serta sekaligus jadi peta jalan perubahan. 

Dibutuhkan tindakan koreksi, menata sistem yang tak bekerja, guna mengembalikan marwah program dan penganggaran prioritas urusan wajib.

Rekonstruksi kebijakan ini secara implisit mengisyaratkan bahwa, tolok ukur kesuksesan seorang pemimpin daerah itu ditakar dengan kemampuannya memanajemen optimalisasi prioritas urusan wajib, bukan membuat pembangunan yang instragamable.

Ekosistem kerja

Argumentasi yang dibangun atas keyakinan bahwa persoalan pembangunan selalu berulang dengan pola yang sama meski pemicunya berbeda, tetapi apabila tanpa dilengkapi kebijakan lain, akan terjadi kekeliruan pentahapan (sequencing error). Sehingga, memungkinkan terjadinya risiko yang merugikan masyarakat (moral hazard).

Apabila dielaborasi lebih lanjut, ada pertumbuhan semu tanpa pembangunan. Artinya, ekonomi tumbuh, tetapi kesejahteraan masyarakat justru terpuruk. Ini tantangan kita. Karena itu pemerintahan baru perlu memiliki opsi mengubah haluan pembangunan.

Konsentrasi kita sekarang ini bagaimana kepala daerah yang baru merestrukturisasi ekosistem kerja untuk menghasilkan program/kebijakan yang sesuai kebutuhan masyarakat. 

Dengan begitu, substansi gagasan butterfly effect menemukan ekspektasi konklusif yang sebenarnya, dapat memberikan efek perubahan yang lebih dahsyat dan berdampak. (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved