Opini

Opini: Natal dan Sengketa Pilkada Indonesia Timur

Dari 10 besar provinsi dengan sengketa pilkada, tujuh provinsi di antaranya merupakan wilayah Indonesia Timur. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Kita mesti belajar dari provinsi dengan penduduk begitu banyak seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur dengan pemilih puluhan juta tetapi mereka bisa meretas persatuan sejak proses pilkada. 

Di Jawa Barat, 60 persen lebih kabupaten hanya menyodorkan 3 paslon dan diikuti 20 persen 3 paslon. 

Hanya 4 daerah yang memiliki 5 paslon. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur hampir 80 persen memiliki 2 paslon dan hanya sedikit yang 3 paslon. Ini adalah contoh persatuan yang nyata. 

Natal yang terjadi di akhir tahun mestinya menjadi momen evaluatif sejauh mana persatuan itu tidak saja diklaim tetapi juga diwujudkan. 

Bila memang politik dijadikan sebagai medan misi, maka ia tidak sekadar klaim. 

Ia harus mengekspresikan persatuan yang sudah dijiwai. Persatuan juga tidak sekadar klaim yang mengelabui karena ia bisa saja hanya sekadar klaim tanpa meresapkannya. 

Evaluasi juga mestinya melangkah lebih jauh untuk melihat betapa indahnya ajaran Kristus tentang cinta kasih, persaudaraan, dan persatuan. 

Hal itu telah memunculkan decak kagum bahkan bukan orang Kristen yang melihat betapa kayannya ajaran itu. 

Mahatma Gandhi menjadi salah satu pengagum Kristus yang mengungkapkan secara sangat luas: “I like your Christ; I do not like your Christians. Your Christians are so unlike your Christ.” 

(Saya suka Kristusmu tetapi saya tidak suka orang-orang kristenmu. Orang Kristen tidak seperti Kristusmu). 

Ini sebuah ironi tentang kedalaman ajaran kristiani di satu pihak dan praksis yang tidak berhasil diwujudkan bahkan dalam batas minimal. 

Natal yang sebentar lagi dirayakan. Sang Raja itu tidak hadir dengan aneka kampanye yang mengagungkan dipenuhi sambutan gegap gempita (sebesar yang terjadi saat kampanye akbar). 

Ia hadir dalam kesunyian dan ketenangan dan mengajak semua orang yang akrab dengan langit untuk membaca tanda yang dilukis alam. 

Para gembala yang hanya beratap langit melihatnya dan bukan mereka yang mengklaim diri paling beragama (seperti Herodes), yang hanya bermain kata ‘menyembah’ padahal lagi meranang pembunuhan. 

Natal menjadi momen penting. Kalau dikaitkan dengan euforia politik pilkada maka nasihat  Philip Yancey,  sangat aktual: “Iman Kristiani, pada intinya adalah tentang pemberian diri—penyerahan diri oleh Allah dan penyerahan diri manusia—dan bukan tentang pemaksaan diri.” 

Selama ini bisa jadi kita terlampau memaksakan diri dan ketika tidak tercapai maka protes dan perpecahan itu menjadi mudah terjadi.  

Kalau demikian  maka nyata bahwa Kristus masih menjadi ucapan di bibir bukan keluar dari hati hal mana kita perlu mengevaluasi diri. (*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved