Opini

Opini: Natal dan Sengketa Pilkada Indonesia Timur

Dari 10 besar provinsi dengan sengketa pilkada, tujuh provinsi di antaranya merupakan wilayah Indonesia Timur. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
ILUSTRASI 

Santu Paulus mengungkapkan secara sangat jelas: “Sekarang Tuhan adalah Roh, dan di mana Roh Allah, di situ ada kemerdekaan” (2 Kor 3: 17). 

Yang jadi pertanyaan, mengapa klaim para paslon kristiani yang ditunjukkan oleh kedekatan dengan hirarki dalam kenyataannya nyaris terllihat? 

Klaim sebagai ‘serdadu Kristus’ begitu mudah diungkapkan saat proses pilkada tetapi saat selesai, semua saling mempersalahkan? Sengketa pilkada menjadi salah satu contohnya. 

Hal ini mengingatkan aka napa yang dikatakan oleh Philip Yancey. Dalam bukunya Christians and Politics Uneasya Patners, 2012, ia ungkapkan bahwa kerap dalam kehidupan sosial, orang Kristen begitu mudah mengklaim orang lain sebagai ‘naga’ yang perlu diwaspadai. 

Dalam kenyataannya, ia sendiri adalah naga yang berusaha melawan naga. 

Klaim ini tentu tidak seluruhnya salah tetapi saling mengklaim yang paling benar dan bersih dan permainan lihai selama pilkada membenarkan bahwa tidak ada yang bersih. 

Evaluasi Diri 

Adanya dominasi sengketa pilkada di Indonesia Timur menjadi momen untuk mempertanyakan sekaligus mengevaluasi diri. 

Hal paling kasat mata adalah menggugat sejauh mana persatuan itu benar-benar telah mengakar dalam kehidupan kristiani. 

Persatuan trinitaris sebagai pijakan utama mestinya menyakinkan bahwa persatuan itu adalah harga mati. 

Selain itu bila pilkada atau pileg merupakan salah satu ekspresi peranana kehidupan kristinai dalam kehidupan politik maka warna ini mestinya hadir. 

Semua pertemuan sebelum, selama, dan sesudah pilkada mestinya diwarnai oleh persatuan. 

Aneka pertemuan yang dihadiri oleh semua orang kristen yang berkumpul dua atau tiga orang dalam nama Kristus, Dia pasti hadir di tengah mereka (Mat 18: 20). Nyatanya klaim itu tidak terbukti. 

Klaim dan sengketa itu menjadi pintu masuk untuk membenarkan bahwa politik kita belum merupakan ekspresi dari iman. Ia masih sebatas ekspreesi verbal. 

Adanya kenyataan seperti ini mendorong kita untuk menyadari bahwa persatuan itu masih terlalu jauh. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved