Cerpen

Cerpen: Puisiku Yang Kamu Baca

Demikian akhir-akhir ini, aku senantiasa ditemani oleh kondisi badmood. Memang demikianlah hidup. Kata dosenku. 

Editor: Dion DB Putra
shutterstock
Ilustrasi 

“bermain piano tidak sama dengan kamu merangkai kata dalam puisi-puisimu yang bertebaran di berbagai media.” 

Demikianlah ungkapan Tasya teman seperjuanganku sejak Sekolah Dasar
hingga perguruan tinggi. 

Bahkan kami tetap memilih untuk satu jurusan, Sastra Indonesia. 

Tasya tahu betul bahwa untuk kesekian kalinya aku sangat hebat dalam berpuisi. Dan ketika egoku menuntut untuk bisa bermain piano, Tasya mengingatkanku.

“Boy, berhenti melayani egomu. Kamu semestinya fokus dengan tugasmu untuk membimbing mahasiswa Sastra semester 2. Jangan begitu sibuk dengan melewati senja menatap piano. Kau harus melewati senja dengan membagi ilmumu bagi adik-adik semester kita.”

***

“Boy, apa kamu ingat puisi yang kau buat untukku agar usai dalam tangis?”

“Ya, aku ingat”

Sudahilah tangismu

Senja sudah beranjak kembali
Sedari tadi, hujan yang sengaja kau ciptakan
Sudah begitu puas merabah pipimu

Baru selangkah, hentakan kudengar
Dari seberang jalan
Biarkan saja, sebab suaranya akan lenyap
Dengan ayunan langkah

Teruslah berjalan
Sebab, wajah langit sudah mulai redup
Dan ketukan pertama itu lenyap
Ketika tangismu sepi
Dan hujan tak lagi berani
Menyentuh pipimu

“mengapa kamu masih menangisi egomu untuk bermain piano?”

“Tasya, aku hanya ingin memahami bunyi dari tust piano untuk merangkai puisi. Bunyi dari tust piano mesti yang kuhasilkan sendiri”

“cukup! Sebagai sahabatmu, aku memahaminya. Tapi kali ini kau mesti fokus dengan tugas yang diberikan dosen. Ingat! Ini kesempatan bagimu. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved