Cerpen
Cerpen: Puisiku Yang Kamu Baca
Demikian akhir-akhir ini, aku senantiasa ditemani oleh kondisi badmood. Memang demikianlah hidup. Kata dosenku.
Aku tidak bisa menemukan jawaban apapun ketika berdialog dengan diriku tentang apakah aku bisa bermain piano.
Nada-nada yang dihasilkan dari tust hitam putih piano telah memikatku.
Egoku mengajak agar jangan hanya menjadi penikmat bunyi yang indah.
Aku mesti bisa juga memposisikan orang lain menikmati harmoni piano. Dari jariku yang menari.
Namun, logikaku mengajak untuk bertengkar.
“dasar bodoh”
“apa?”
“mengapa kamu belum sadar akan kelemahanmu?”
“aku tidak ingin kelehaman bercokol dalam diriku”
“ambisi buta, telah membuatmu melihat orang lain sebagai musuhmu. Orang lain juga akan kau jadikan budak yang senantiasa setia menikmati permainan pianomu. Namun, kau tidak pernah sadar. Ambisi buta, telah menuntut kau untuk menikmati utopia.”
Sejenak aku merenung. Alih-alih tidak mendapatkan jawaban yang pasti, kakiku melangkah keluar dari ruangan musik.
Demikianlah keseharianku usai ujian akhir semester 4. Ketika banyak
mahasiswa berbondong-bondong mengunjungi kafe, atau membuat jadwal liburan, aku masih beradu dengan ego untuk bisa bermain piano. Sebelum senja, aku berangkat menuju Kampus.
Usai senja, aku meninggalkan kampus. Acap kali teman-teman mengajak untuk menikmati senja dengan seteguk kopi di atas gunung atau di tepi pantai.
Aku masih nyaman dengan melewati senja sambil memandang piano yang diletakan dengan rapi tepat di sudut kanan ruangan musik.
Sesekali berusaha meletakan jari di atas tustnya dan belajar dengan sistem otodidak.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.