Opini

Opini: Hyperrealitas Pilkada dan Ilusi Kekuasaan Baru

Janji-janji kampanye yang disampaikan dengan retorika heroik menjadi bahan bakar optimisme ini, tetapi apakah itu semua realistis?

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
I Putu Yoga Bumi Pradana 

Baudrillard mengingatkan bahwa ketika simulacra mendominasi, realitas digantikan oleh ilusi, menjadikan narasi politik sebagai pusat kontrol persepsi masyarakat.

Mata dan Tangan di Balik Kekuasaan

Ketika kepala daerah terpilih mulai memegang kendali, fase baru dalam siklus kekuasaan politik dimulai. 

Tekanan dari tim sukses dan kelompok kepentingan muncul sebagai konsekuensi logis dari quid pro quo, sebuah hubungan timbal balik yang sering kali bercampur dengan kepentingan transaksional. 

Mereka yang merasa berjasa dalam memenangkan pemilu menuntut “imbalan” berupa proyek strategis atau jabatan penting, yang dalam filsafat politik disebut sebagai fenomena rent-seeking. 

James Buchanan menyebut ini sebagai ekspresi dari homo economicus dalam arena politik, di mana aktor bertindak untuk memaksimalkan utilitas pribadinya, mengorbankan bonum commune (kebaikan bersama).

Fenomena ini melahirkan apa yang dapat disebut sebagai ratio proiectiva atau "nalar proyek," suatu paradigma di mana kebijakan publik dirancang bukan untuk mengatasi masalah secara mendalam (sub ratione veritatis), tetapi untuk menciptakan peluang keuntungan bagi elite tertentu. 

Proyek semacam ini sering kali tidak membawa manfaat nyata (utilitas publica) bagi masyarakat luas dan malah memperparah iniquitas socialis (ketimpangan sosial).

Max Weber, melalui konsep rationalisierung, memperingatkan bahwa birokrasi yang terjebak dalam rasionalitas formal tanpa memperhatikan substantia justitia (keadilan substantif) akan kehilangan orientasi terhadap telos (tujuan akhir) dari keberadaan birokrasi itu sendiri, yakni melayani res publica (kepentingan publik). 

Dalam kondisi ini, birokrasi tidak lagi menjadi instrumen untuk ars boni et aequi (seni yang baik dan adil), tetapi justru menjadi instrumen kekuasaan politik yang memperkuat dominasi kelompok tertentu atas masyarakat luas.

Akibatnya, kebijakan yang seharusnya menjadi alat transformasi sosial berubah menjadi instrumentum alat reproduksi ketimpangan menjauhkan pembangunan dari prinsip aequitas socialis (keadilan sosial) yang seharusnya menjadi tujuan utama.

Menuju Kebijakan Publik yang Rasional dan Objektif

Untuk menghindari jebakan hyperrealitas dan rent-seeking, masyarakat NTT harus mengembangkan kritisisme terhadap janji-janji kampanye. 

Immanuel Kant dengan konsepnya, sapere aude (berani berpikir sendiri), menyerukan agar setiap individu berani mempertanyakan narasi-narasi yang beredar. 

Sikap kritis ini harus menjadi landasan bagi masyarakat untuk mengawal jalannya pemerintahan baru.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved