Opini
Opini: Hyperrealitas Pilkada dan Ilusi Kekuasaan Baru
Janji-janji kampanye yang disampaikan dengan retorika heroik menjadi bahan bakar optimisme ini, tetapi apakah itu semua realistis?
Oleh: I Putu Yoga Bumi Pradana
Dosen Administrasi Publik pada FISIP Undana Kupang, Koordinator Program Studi Magister Studi Pembangunan Undana, dan Alumni Program Doktor FISIPOL Universitas Gajah Mada
POS-KUPANG.COM - Ketika hasil pilkada serentak diumumkan, suasana euforia meliputi masyarakat Nusa Tenggara Timur atau NTT.
Harapan akan perubahan besar seolah terlahir kembali, menghidupkan optimisme bahwa kepala daerah terpilih mampu membawa daerah ini keluar dari berbagai persoalan kronis seperti kemiskinan, stunting, dan infrastruktur yang terbengkalai.
Janji-janji kampanye yang disampaikan dengan retorika heroik menjadi bahan bakar optimisme ini, tetapi apakah itu semua realistis?
Jean Baudrillard menyebutkan bahwa dalam era modern, apa yang kita anggap sebagai realitas sering kali tidak lebih dari simulasi—konstruksi simbolik yang mengaburkan kenyataan.
Pilkada di NTT telah menjadi laboratorium nyata dari konsep ini, di mana narasi kampanye menciptakan citra pemimpin ideal yang jauh dari realitas kompleks birokrasi dan pembangunan daerah.
Masyarakat terbuai dalam janji-janji ini, menerima mereka sebagai kebenaran mutlak tanpa mempertanyakan bagaimana janji tersebut akan diwujudkan.
Hyperrealitas ala Baudrillard dan Dominasi Narasi Ilusi
Jean Baudrillard, dalam karyanya Simulacra and Simulation (1981), menjelaskan hyperréalité (hyperrealitas) sebagai kondisi di mana realitas asli digantikan oleh simulacra, yaitu representasi buatan yang tampak lebih nyata dari kenyataan itu sendiri.
Dalam konteks pilkada, janji-janji politik sering kali merupakan konstruksi mental yang dirancang untuk menarik emosi, bukan mencerminkan veritas (kebenaran) kondisi nyata.
Misalnya, janji menghapus kemiskinan dalam waktu singkat adalah bentuk illud fictum (fiksi itu sendiri) yang mengabaikan kompleksitas masalah seperti struktur ekonomi dan birokrasi.
Fenomena ini menyerupai "bayangan dalam gua" Plato di Politeia (The Republic), di mana masyarakat terpesona oleh simulacra politik sebagai realitas sejati.
Kondisi ini menghasilkan ketergantungan pada kekuatan eksternal, di mana masyarakat kehilangan kemandirian rasionalitas untuk berpikir kritis.
Mereka menerima narasi tanpa pengujian rasional, menciptakan circulus vitiosus (lingkaran setan) euforia yang memperkuat ilusi.
Akibatnya, ekspektasi yang tidak realistis terhadap kepala daerah muncul, mengaburkan tantangan struktural dan fundamental.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.