Opini
Opini: Euforia dan Luka di Beranda Kita
Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga menjadi medan pertarungan opini yang sering kali melupakan nilai-nilai demokrasi.
Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Pertama, edukasi politik kepada masyarakat harus ditingkatkan.
Partisipasi politik yang sehat tidak hanya tentang menggunakan hak suara, tetapi juga memahami esensi demokrasi. Dalam bukunya, Democracy and Education (1916), John Dewey menekankan pentingnya pendidikan sebagai landasan demokrasi yang kuat.
Kedua, regulasi terhadap media sosial perlu diperketat. Pemerintah bersama penyedia platform harus memastikan bahwa algoritma tidak memperkuat polarisasi.
Sebuah studi dari Pew Research Center pada 2020 menunjukkan bahwa regulasi platform media sosial dapat mengurangi penyebaran konten provokatif hingga 45 persen.
Ketiga, para pemimpin politik harus mengambil peran sebagai perekat, bukan pemecah.
“Pemimpin sejati adalah mereka yang mampu merangkul semua pihak, bukan hanya pendukungnya,” ujar Gus Dur dalam salah satu tulisannya di Tempo pada 2004.
Menjemput Harapan di Tengah Luka
Pilkada 2024 telah usai, tetapi dampaknya masih terasa. Euforia kemenangan dan luka kekalahan adalah dua sisi mata uang yang selalu ada dalam demokrasi.
Namun, kita memiliki pilihan untuk menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran berharga.
Kita perlu mengubah perang narasi menjadi dialog konstruktif. Kita perlu menata ulang ruang publik kita agar menjadi tempat yang inklusif dan penuh penghormatan.
Dan yang terpenting, kita perlu memahami bahwa demokrasi bukan hanya tentang menang atau kalah, tetapi tentang menjaga martabat bersama sebagai bangsa.
Semoga dari euforia dan luka ini, hemat saya kita bisa menjemput harapan untuk Indonesia yang lebih baik.
Sebagaimana bijaknya Nelson Mandela pernah berkata, “Bagi saya, kekalahan bukanlah akhir. Saya selalu menemukan kemenangan atau pelajaran berharga di setiap langkah.” (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.