Opini
Opini: Euforia dan Luka di Beranda Kita
Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga menjadi medan pertarungan opini yang sering kali melupakan nilai-nilai demokrasi.
“Kegagalan dalam kancah politik kerap menjadi bara yang menyulut perpecahan sosial semakin tajam,” ujar Dr. Philips Vermonte, peneliti senior di CSIS. Tempo 25 Oktober 2024.
Luka ini tidak hanya menyentuh perasaan pribadi, tetapi juga mencabik-cabik ikatan social kita sebagai sebuah komunitas.
Di berbagai daerah, gesekan antarpendukung sering kali memanas hingga merusak harmoni sosial.
Contohnya, di Kabupaten Kupang, perbedaan pilihan politik berujung pada aksi protes yang berlarut-larut hingga memengaruhi hubungan antarwarga.
Sebuah artikel dari Pos Kupang pada 22 Oktober 2024 mencatat bahwa konflik ini sering kali diperparah oleh provokasi di media sosial yang tidak terkontrol.
Perang Narasi: Ruang Publik yang Terbelah
Media sosial, sebagai ruang publik virtual, telah berubah menjadi medan perang narasi selama Pilkada 2024. Tagar-tagar dukungan seperti #PrabowoGibran2024 atau #PerubahanUntukNTT berseliweran di beranda kita.
Namun, di balik tagar ini terselip strategi komunikasi politik yang memanipulasi emosi publik.
Menurut buku The Age of Surveillance Capitalism karya Shoshana Zuboff (2019), algoritma media sosial cenderung memperkuat konten yang kontroversial dan memancing emosi, sehingga memperburuk polarisasi.
Hal ini tercermin dalam laporan Detikcom pada 24 Oktober 2024, yang menyebutkan bahwa selama masa kampanye, lebih dari 60 persen unggahan terkait Pilkada di Facebook dan Twitter berisi konten provokatif atau hoaks.
Pendukung kandidat sering kali terjebak dalam narasi yang saling menghancurkan. Unggahan bernada ujaran kebencian, fitnah, hingga pelecehan personal menjadi pemandangan umum.
“Pertempuran narasi ini melahirkan lanskap politik yang dipenuhi bara dendam, mengikis ruang bagi dialog yang bermartabat,” ujar Prof. Azyumardi Azra. Jakarta, 29 Oktober 2024.
Refleksi: Menata Ulang Demokrasi Kita
Di tengah euforia dan luka yang melanda, hemat saya penting bagi kita untuk melakukan refleksi mendalam tentang wajah demokrasi kita.
Pilkada idealnya menjadi tonggak pemersatu dalam perjalanan demokrasi, bukan jurang pemisah. Namun, kenyataan berbicara lain; kita masih terpaut jauh dari bayangan luhur tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.